Seniman Aceh Idrus bin Harun Melawan Pikun Lewat 'Menolak Jawai'

Jakarta Biennale 2015

Seniman Aceh Idrus bin Harun Melawan Pikun Lewat 'Menolak Jawai'

Tia Agnes Astuti - detikHot
Rabu, 18 Nov 2015 13:35 WIB
Dok.Tia Agnes/ detikHOT
Jakarta - Mural yang menyerupai burung Garuda bertuliskan 'Bhoneka Tinggal Luka' menyapa pengunjung Gudang Sarinah, Pancoran sebagai lokasi perhelatan akbar Jakarta Biennale 2015. Karya seni berjudul 'Menolak Jawai' itu memiliki simbol-simbol yang mencerminkan sejarah kota Bumi Serambi Mekkah.

Pendiri Komunitas Kanot Bu sekaligus seniman mural Idrus bin Hasan yang menciptakannya. Istilah 'Menolak Jawai' sengaja digunakannya sebagai kata yang cocok untuk mengingat kembali peristiwa yang terjadi di Aceh, mengkritisi dan merespons kota kelahirannya.

Kata 'Jawai' dalam bahasa Aceh berarti penyakit lupa yang kerap melanda para lansia atau dikenal dengan 'pikun'. Kepada detikHOT, ditemui di sela-sela pembukaan pamerannya, Idrus menceritakan asal mula inspirasinya membuat karya seni.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya lebih senang menggunakan kata 'Jawai' daripada menolak lupa. Tapi bukan kata 'Jawa', ini 'Jawai'," tegasnya menjelaskan belum lama ini.

Baca Juga: 4 Seniman Aceh Bicara tentang Kotanya di Festival Jakarta Biennale 2015

Setiap berkarya, Idrus kerap mengkritik kondisi sosial di sekitarnya. Serta lewat pengalaman hidupnya termasuk konflik GAM di Aceh, ia menyelami narasi tentang sejarah kotanya.



Seperti ikon Pancasila, Monumen Nasional, burung Garuda, rencong atau kopiah meukeutop-topi khas Aceh- menjadi bahasa yang ditampilkan Idrus. "Saya menceritakan kekuasaan Indonesia dengan lambang pohon beringin. Seperti kita tahu, ada pemimpin yang berkuasa selama itu dan terjadi industrialisasi di berbagai pelosok," terangnya lagi.

Ibukota pun dilambangkan sebagai pemegang kekuasaan dan memiliki harta dalam bentuk Monumen Nasional (Monas). Di bagian mural berikutnya, Idrus menceritakan tentang konflik GAM dan militerisme sampai masa Referendum. Mural ini, kata dia, semacam perjalanan politik Aceh sejak era 1980-an.

"Saya mengalami sendiri peristiwa GAM dan gencatan senjatanya. Tapi banyak masyarakat sekarang yang terasa tidak ingin menceritakan tentang kejadian-kejadian itu. Maka, sejarah ini yang tidak boleh dilupakan dan saya hadirkan lagi lewat mural 'Menolak Jawai'," kata pria kelahiran 11 Oktober 1981.

Selain simbol, banyak metafora yang dipakai Idrus. Penggunaan kata 'Bhoneka' pun sebagai ungkapan untuk Aceh yang tidak punya ruh untuk bergerak sesuai dengan keinginannya sendiri. 'Menolak Jawai' masih bisa dilihat di Gudang Sarinah sampai 17 Januari 2016 mendatang. Simak terus artikel culture yang membahas tentang narasi ke-4 seniman Aceh di Jakarta Biennale 2015!

(tia/mmu)

Hide Ads