Puluhan karya seni itu merupakan kerja bareng Jogja Street Sculpture Project (JSSP) 2015, Asosiasi Pematung Indonesia (API) dan Dinas Kebudayaan DIY. Pameran bertajuk "Antawacana" ini diikuti sekitar 32 seniman patung. Pameran digelar mulai hari Jumat, (30/10/2015) hingga 15 Desember 2015 mendatang.
Pada saat pembukaan acara yang di jalur sepeda di Jl Margo Utomo menarik perhatian warga sekitar yang melintas. Saat beberapa karya seni patung ketika sudah dibuka penutupnya oleh panitia langsung di respon warga untuk berfoto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karya Amboro yang berjudul "Rolasan #3" ini ingin menyampaikan sebuah pesan di era globalisasi seperti sdekarang, ternyata manusia masih banyak berkutas pada persoalan perut. Padahal masih banyak persoalan lain yang perlu dipikirkan.
"karya tiga dimensi ini bisa sebagai sarana hiburan yang segar, humoris dan ,emgundang tawa publik dan bisa berinteraksi dengan publik," kata Amboro.
Demikian pula dengan karya milik Teguh S. Priyono yang berjudul "No Parking" yang terpasang di trotoar pembatas antara jalur kendaraan bermotor dengan jalur sepeda. Dia memajang karyanya berupa sebuah sepeda motor Vespa yang bagian roda depan terbenam di trotoar. Judul No Parking adalah sebuah pratinjau terhadap kesemrawutan lalu-lintas dan perparkiran yang sudah terjadi di Kota Yogyakarta dan daerah lainnya.
Sementara itu, karya lain yang menarik diantaranya yang terpajang di sekitar perlintasan kereta api di Stasiun Tugu Yogyakarta. Di tempat itu ada karya milik Dunadi dan Rudi Mantofani. Karya Dunadi berjudul "Kaki Melangkah" berupa dua buah telapak kaki besar itu terpasang di sebelah utara pintu KA.
"Kaki melangkah adalah sebuah gambaran bahwa setiap langkah manusia itu dikendalikan oleh otak. Dari kaki, kita melangkah ke sebuah tujuan yang baik dan buruk itu ditentukan oleh langkah kita sendiri," ungkap Dunadi.
Sedangkan karya Rudi Mantofani berjudul Becak E-Mas terpajang di pinggir trotoar depan stasiun, yang menjadi tempat para tukang becak mengkal mencari penumpang. Oleh Rudi, sebuah becak dicat dengan sepuhan warna emas yang berkilau tertimpa sinar matahari.
Menurut Rudi, becak dan tukang becakitu merupakan salah satu keunikan yang masih eksis di Yogyakarta. Mereka mencoba bertahan namun posisi mereka mulai terusik oleh kehidupan yang serba cepat.
"Saat ini becak tidak berkembang lagi secara jumlah, tidak lagi diproduksi dan bertahan dalam keterbatasan," ungkap Rudi.
Oei Hong Djin seorang kolektor asal Magelang yang membuka acara mengungkapkan dirinya sangat memberikan apresiasi yang tinggi terhadap para seniman patung. Karya-karya seni mereka tidak hanya ditempat di dalam rumah atau disimpan di rumah atau galeri seni. Akibatnya orang yang mengapreasi terhadap karya patung menjadi terbatas. Namun yang dilakukan oleh Jogja Street Sculpture Project (JSSP) ini merupakan suatu upaya untuk menghadirkan seni patung di tengah-tengah masyarakat.
"Ini sesuai dengan semangat street art yang bisa diartikan seni jalanan. Karya-karya di sepanjang jalan Margoutomo ini bisa direspon oleh warga masyarakat sekitar. Ini sangat bagus sekali," puji OHD panggilan akrabnya itu.
(bgs/kmb)