Sepertinya memang agak susah mengidentifikasi karya-karya seni yang disajikan dalam pameran Eddy Susanto di Gelari Nasional, Jakarta tersebut. Lukisan? Instalasi? Patung? Multimedia? Semua ada. Begitu memasuki ruang pamer misalnya, pengunjung akan langsung disambut oleh sebuah patung batu yang menggambarkan sosok perempuan Jawa bersimpuh di depan mikrofon.
Tak jauh darinya, ada sosok-sosok familiar, tokoh-tokoh bangsa yang sudah pasti Anda kenal. Sekilas, seperti lukisan biasa. Namun, setelah dicermati, ternyata karakter-karakter itu merupakan mozaik yang tersusun atas potongan kecil-kecil huruf A sampai Z yang terbuat dari kayu. Membentuk wajah Kartini, Pramoedya Ananta Toer dan Sukarno.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap “lukisan” dilengkapi dengan headphone, ada juga yang disertai layar monitor mini. Menurut kurator pameran tersebut, Suwarno Wisetrotomo, karya-karya Eddy Susanto menyodorkan berbagai pertemuan budaya manuskrip.
“Dalam pameran ini Eddy menunjukkan bahwa Indonesia memiki sejarah panjang dan kisah sukses, yang tertera dalam sejumlah artefak dalam bentuk manuskrip dan benda-benda lainnya. Pemahaman, pemaknaan dan pembacaan yang belum banyak dilakukan mengakibatkan sumber-sumber historis itu seperti mengalami pembekuan,” ujarnya.
Dibuka untuk umum sejak 4 September lalu, seremoni “grand opening” pameran tersebut baru digelar Selasa (8/9) malam. Eddy tentu menjadi seniman yang sangat berbahagia karena pembukaan pameran karyanya menjadi peristiwa budaya yang meriah dan langka. Diawali dengan tari berjudul ‘Antiteksis’ oleh Galuh Pangestri, pameran dibuka oleh budayawan Romo Mudji Sutrisno dan dihadiri oleh Presiden RI ke-5 Megawati, yang juga memberikan pidatonya. Anggota DPR Rieke Dyah Pitaloka dan Gubernur Banten Rano Karno juga hadir.
Eddy Susanto, kelahiran Jakarta, 1975 yang tumbuh dan berproses di Yogyakarta merupakan nama yang mulai diperhitungkan ketika sejak 2007 mulai memperkenalkan karya-karyanya ke hadapan publik lewat berbagai forum. Sejumlah karyanya kemudian menjadi koleksi Istana Negara di Bogor.
Pada pamerannya kali ini, Eddy melakukan penjelajahan yang sangat jauh untuk mengatasi kegelisahannya pada persoalan identitas. Memasuki karya-karya Eddy di pameran ‘Java Script’ ini seperti menyusuri belantara masalalu dan masa kini, dimana huruf-huruf Jawa bertemu dengan jejaring sosial di dunia digital, dari situs jualan Amazon hingga situs berbagi video Youtube.
Seperti ditegaskan oleh kurator Asmudjo J Irianto, menyimak satu demi satu karya, dapat ditemukan bahwa tema besar yang dirasakan hadir menandai pameran tersebut adalah identitas yang kian mengemuka saat berbagai komponen kebudayaan saling bertransaksi. Pameran ‘Java Script’ masih berlangsung hingga 13 September. Pameran ini akan disertai dengan diskusi pada Sabtu (12/9) di Ruang Seminar Galeri Nasional, menghadirkan seniman dan kuratornya.
(mmu/mmu)