Salah satunya adalah penerbit Moka Media yang antara lain mengorbitkan penulis muda bernama Sabda Armandio dengan novel berjudul ‘Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya’. Novel ini menjadi salah satu karya yang digadang-gadang di kalangan pengamat dan pecinta fiksi di Indonesia. Novel baru lainnya yang menarik perhatian adalah ‘Napas Mayat’ karya Bagus Dwi Hananto yang sebelum diterbitkan oleh Gramedia merupakan naskah Pemenang III Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014.
Digarap dengan teknik dan gaya yang hampir sama dengan ‘Kamu’ karya Sabda Armandio, ‘Napas Mayat’ juga mengalir sebagai tuturan sang tokoh utama yang hadir langsung sebagai ‘aku’. Novel ini ‘dijajakan’ dengan kutipan dari bagian isi novelnya di sampul belakang, sebagai berikut:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa yang terlinats di benak Anda membaca kilasan itu? Seorang pembaca di Goodreads bergurau dengan mengatakan, “Dari kutipan itu ada dua kesimpulan, ini novel tentang kuliner, atau kisah kanibalisme ala Hannibal Lecter karya Thomas Harris.” Faktanya?
Alkisah, “aku” adalah anak orang kaya raya yang jatuh miskin. Hidup penuh kehormatan dan pesta pora ala ‘Great Gatsby’ telah berlalu, ayah dan ibunya pun pergi meninggalkan dunia dengan segala kejayaan mereka. Kini, si aku sebatang kara, hidup bersama alter-egonya yang dipanggilnya Hitam, di sebuah apartemen.
Dunia dalam ‘Napas Mayat’ dibuat dengan usaha yang sangat keras untuk menjadi serba aneh, nyentrik, di luar kewajaran, bahkan tak normal; pendek kata tak biasa. Si Aku bertetangga dengan lelaki aneh yang punya anjing yang tentu saja juga aneh. Pak Malikan, sang tetangga ini, diperkenalkan sejak sangat awal dan keanehannya barangkali membuat pembaca nyaris putus asa atau hilang kesabaran dengan novel ini. “Pak Malikan memiliki kata-kata bahasanya sendiri yang tidak bisa diartikan.” Baiklah, ikuti saja!
Si Aku bekerja di sebuah perusahaan “dengan telepon-telepon berdering setiap beberapa menit sekali”. Tugasnya memilah-miliah kertas-kertas. Jangan meminta penjelasan lebih jauh lagi, karena itu akan menguragi keanehan yang kelam dari novel ini. Si Aku pacaran dengan atasannya, Sarah, yang sudah bersuami; mereka pacaran tanpa cinta, hanya saling memuaskan nafsu birahi masing-masing. Lagi-lagi, tak sulit untuk mengidentifikasi bahwa pengadeganan semacam itu lahir dari sebuah generasi yang melahap karya-karya Haruki Murakami. Dan, tak jauh beda dengan “aku” dalam novel ‘Kamu’ karya Sabda, si aku di novel karya Bagus ini pun layaknya tengah membeberkan sebuah catatan harian, yang ngalor-ngidul mengecam ini dan itu, termasuk isu-isu Israel vs Palestina, dengan kekuasaan Amerika di baliknya.
Secara keseluruhan, tokoh aku ini memang hidup dalam dendam dan kemarahan, melihat seluruh dunia sebagai sesuatu yang salah. Ia juga menyebut orang-orang di sekitarnya dengan label-label negatif, termasuk kepada si pemilik apartemen, yang ia gambarkan sebagai perempuan bertubuh gajah dan dipanggilnya “Mama Besar”.
Si Mama Besar ini suka menghina “aku”. Novel ini bergerak lebih jauh setelah si aku pada suatu hari berpikir, aha, kenapa tidak membunuhnya saja! Semua itu terjadi sebagai hasil dialognya dengan Hitam, sosok yang tak lain bayangan dari dirinya sendiri. Lalu, jadilah ini sebuah sebuah novel thriller, yang brutal, menjijikkan, sebuah teks yang dipuji oleh tim juri Sayembara Novel DKJ 2014 sebagai, “kompleks….mempertanyakan Tuhan, cinta dan arti kemanusiaan”. Bila komentar juri ini terlalu berat untuk dicerna, lupakan saja, dan telanlah ‘Napas Mayat’ sebagai semata-mata sebuah cerita, tentang anak muda yang menjadi “gila” karena luka masa lalu.
Imajinasi menjadi kekuatan dari penulis-penulis generasi terkini, dan itu tampak pada karya Sabda maupun Bagus ini. Mereka seolah ‘terputus’ dari tradisi sastra yang mendahuluinya, dan seolah tak peduli dengan pakem-pakem fiksi seperti plot dan konflik. Pada ‘Kamu’ karya Sabda apa yang disebut konflik rasanya tidak ada. Penulis-penulis ini bisa dengan santai memasukkan sebuah unsur yang boleh jadi “tidak masuk akal”. Bila pada ‘Kamu’ pembaca bertemu dengan gorila yang berkutbah dengan amat bijaknya, maka pada ‘Napas Mayat’ ada burung gagak, yang juga bisa bicara dan mempengaruhi sang tokoh utama. Surealis? Selamat menikmati!
(mmu/mmu)