Pertemuan-pertemuan itu membuatnya terinspirasi untuk menggagas sebuah karya kolaborasi yang menggabungkan semua unsur-unsur yang menarik minatnya itu. Ia pun mengajak Yudi Ahmad Tajudin, direktur artistik Teater Garasi untuk menjembatani keinginannya itu. Hasilnya adalah sebuah teater-tari yang diberi tajuk 'To Belong/Suwung'. Karya ini pertama kali dipentaskan di Nagano, Jepang pada November 2013. Lalu, pada Maret 2014 dipertontonkan lagi di Singapura, dan terakhir kembali ke Jepang di festival tari internasional 'Dance New Air' di Tokyo pada Oktober 2014.
Menjelang akhir tahun ini, publik seni di Indonesia akhirnya berkesempatan untuk menyaksikan pertunjukan istimewa tersebut. Ini momen yang sungguh sayang untuk dilewatkan karena sejak awal sebenarnya tak ada rencana pementasan 'To Belong/Suwung' di Indonesia. Gara-garanya, Akiko Kitamura kebetulan tengah berada di Jakarta untuk pementasan opera teater tari 'Gandari' (Teater Jakarta, 12-13 Desember) yang juga disutradarai oleh Yudi Ahmad Tajudin dan melibatkan para penari di 'To Belong/Suwung'. Mereka adalah 3 penari Indonesia (Danang Pamungkas, Rianto, dan Luluk Ari Prasetyo) dan 3 penari Jepang (Kana Ote, Yuki Nishiyama, dan Lion Kawai). Maka, sekali merengkuh dayung, sekalian saja 'To Belong/Suwung' dipentaskan untuk publik Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Musik yang digarap oleh Yasuhiro Morinaga menggabungkan beragam rekaman lapangan, termasuk merekam suara Slamet Gundono, dan lagu-lagu hiphop Jawa Mohamad Marzuki. Ada bagian ketika suara Slamet mengisi ruang-ruang kosong di antara tubuh-tubuh yang menari, mengisahkan pergulatan sang dalang bertubuh superbesar itu dengan setitik embun di ujung daun yang tak kunjung bisa ia reguk, hingga membuatnya begitu frustrasi, merasa kecil dan tak berdaya di hadapan setitik embun itu. Lalu, suara Slamet disambung dengan lantunan Marzuki tentang raga yang "tak kalah suci" dibandingkan dengan sukma. Peralihan dari Slamet ke Marzuki begitu halus, dan semua unsur itu menyatu, dari gerak tubuh, lagu hingga visual grafis dan animasi.
Dalam penyatuan itu, tanpa mengecilkan peran dan makna yang lain, terasa bahwa Slamet Gundono merupakan fondasi yang penting dan tak tergantikan. Sayangnya, dalam proses penciptaannya, Slamet meninggal dunia di awal 2013. Karya kolaborasi unik dan indah ini berutang padanya, sehingga pementasannya di Indonesia punya arti yang penting. Kabar baiknya, selain dipentaskan dua hari di Jakarta, 'To Belong/Suwung' juga akan "pulang" ke tempat asal kolaborasi ini tercetus, yakni Solo. Di Jakarta, pertunjukan ini digelar di Goethe Institut, dan masih bisa disaksikan secara gratis Rabu (17/12) pukul 20.00 WIB malam ini. Sedangkan di Solo, 'To Belong/Suwung' dipentaskan di Teater Besar ISI, Sabtu (20/12) malam akhir pekan ini.
Ini adalah keterlibatan Slamet Gundono yang terakhir dengan dunia seni pertunjukan internasional. Dalam karya ini, lagu terakhir yang diciptakannya sebelum wafat menjadi bagian yang sangat penting, dan belum pernah diperdengarkan di Indonesia. Karena itu, sudah sepantasnya bila pementasan 'To Belong/Suwung' ini dimaksudkan sebagai persembahan dan penghormatan untuk almarhum atas seluruh sumbangannya bagi dunia seni di Indonesia maupun Internasional.
(mmu/mmu)