Sejarawan JJ Rizal terkaget-kaget tak percaya. "Tujuh juta, Mas? Serius, nggak lagi mimpi?" tanyanya dengan nada setengah sinis. Reaksi spontan itu muncul ketika ia ditawari oleh seseorang --via Twitter-- dua jilid buku Di Bawah Bendera Revolusi-nya Bung Karno.
Kekagetan JJ Rizal belum seberapa dibandingkan dengan kemasygulan komunitas pecinta buku yang ada di Facebook ketika membahas sebuah postingan seorang user di Kaskus yang menawarkan buku Pramoedya Anantas Toer dengan harga superfantastis. Buku yang ditawarkan adalah Arus Balik cetakan ketiga tahun 1995, dengan bandrol harga...Rp 30 juta!
Bagi kolektor dan pecinta buku yang sudah "kaffah", penawaran harga itu menimbulkan tawa. Mengingat, masih sangat banyak karya Pram yang jauh lebih langka dibandingkan dengan yang ditawarkan itu. Memang, buku yang dijual itu bertanda tangan Pram. Namun, hal itu justru memicu kontroversi lain: banyak yang meragukan apakah itu tanda tangan "basah" atau hanya cetakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Facebook, menjual buku dengan harga Rp 700 ribu bisa dilakukan dengan sangat mudah, secepat mengedipkan mata. Itu terjadi ketika akun bernama Toko Buku Multatuli mem-posting buku AD-ART Konstitusi PKI yang dikeluarkan oleh Comite Central Partai Komunis Indonesia tahun 1964. Buku setebal hanya 79 halaman itu terjual hanya dalam 2 menit setelah di-posting. Segala buku atau dokumen yang berbau "kiri", bersentuhan dengan sejarah PKI, menempati posisi tertinggi dalam "kasta" pasar buku bekas.
Buku Pokok-pokok Adjaran Tan Malaka yang dikeluarkan DPP Partai Murba tahun 1960 yang hanya setebal 66 halaman, laku dijual Rp 325 ribu. Buku tentang tokoh yang sama, berjudul Peringatan Sewindu Hilangnya Tan Malaka yang berangka tahun 1957 tak menunggu lama untuk "di-book" oleh calon pembeli walau dibadrol dengan harga Rp 350 ribu.
Tak hanya buku-buku "kiri" dari masa "jadul", terbitan masa kini pun memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Buku Menyingkap Kabut Halim 1965 misalnya. Buku yang disusun oleh Aristides Katoppo dan timnya ini terbit pertama kali tahun 1999. Tapi, kini sudah punya nilai jual-kembali yang fantastis. Di blog tsarindanbukulangka.blogspot misalnya, buku ini dibandrol Rp 150 ribu. Di sebuah lapak di situs jualo.com bahkan lebih gila lagi: Rp 200 ribu. Namun, di lapak-lapak Facebook, masih ada akun yang menawarkannya dengan harga bersahabat, di kisaran Rp 60 ribuan.
Buku-buku terjemahan karya-karya Karl Marx, atau berbagai pembahasan tentang pemikirannya, juga punya nilai jual yang tinggi. Terjemahan karya-karya filsuf kontemporer seperti Nietzsche dan Michel Foucault setiap kali dilempar di dinding Facebook bisa dipastikan jadi rebutan. Buku-buku ini umumnya merupakan hasil kerjaan penerbit-penerbit Yogyakarta yang menjamur sejak akhir dekade 1990 hingga pertengahan dasawarsa 2000. Dulu, barangkali buku-buku itu dicerca dan dikecam dengan aneka tudingan, seperti "terjemahan yang buruk" dan kualitas cetakan yang asal-asalan. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, sebuah buku tak lagi (semata-mata) dinilai berdasarkan isinya, melainkan sebagai benda fisik hasil kreasi seni. Perwajahan sampul juga jadi pertimbangan utama dalam melihat buku lama.
Maraknya akun-akun penjualan buku di Facebook ikut mendorong munculnya cara pandang baru terhadap buku bekas. "Nggak tahu ya, kalau sudah tampil di Facebook itu buku jadi mempesona, seolah-olah jadi bagus banget. Nilai ilusif ini menjadi semakin tinggi jika buku itu sudah ada yang nge-book, atau di kolom komentar tampak bahwa buku itu jadi rebutan," tutur pelapak buku di Facebook asal Solo, Ariyanto Mahardika.
Ariyanto benar. Untuk membuktikan pernyataannya, ini ada contoh kecil kejadian yang menarik. Pada 10 April akun bernama Trisna Buku Tok II (Surabaya) menawarkan 4 stok novel Kebangkitan karya Leo Tolstoy terjemahan penerbit KPG, Jakarta. Dalam sekejap buku tersebut langsung habis dipesan pada hari itu juga. Tapi, komentar yang masuk masih terus mengalir bahkan hingga September kemarin. Masih banyak yang berminat dan menanyakan ketersediaan buku tersebut.
Di luar buku-buku Soekarno, "kiri", dan Pram, buku-buku dengan tema-tema yang antik, judul-judul eksotik dan penulisnya memiliki ketokohan atau popularitas tertentu, merupakan primadona-primadona lapak online. Para pelapak (pemilik akun penjual buku di Facebook) dan pembeli punya istilah untuk buku-buku semacam itu sebagai buku yang seksi. Buku-buku ini jelas sudah tidak beredar di toko, tidak mudah dijumpai, terbit di era 80-an hingga 90-an dan awal dekade 2000. Salah satu contohnya buku berjudul Seni Lukis, Kesenian dan Seniman karya S Sudjojono. Buku setebal 108 halaman terbitan Aksara Indonesia, Yogyakarta, Juli 2000 tersebut ketika muncul lagi di lapak-lapak online hari-hari ini, bisa laku dijual seharga Rp 65 ribu.
Buku-buku sejarah terjemahan Pustaka Jaya era 80-an dengan sampul hardcover berdesain minimalis seperti Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang karya Harry J Benda atau Abangan Santri dan Priyayi karya Clifford Geetz kini telah menjadi karya klasik yang langka, mahal dan diburu kolektor. Dari penerbit yang sama termasuk juga karya Sartono Kartodirdjo Pemberontakan Petani Banten 1888 yang sudah sangat langka. Karya-karya Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani (Bentang, 1993) dan Madura: Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris 1850-1940 (Mata Bangsa, 2002) juga harus disebut.
Ada setidaknya dua buku lagi yang tak boleh ketinggalan dalam pembicaraan ini, sebagai primadona yang hingga sekarang masih terus diburu para kolektor dan pecinta buku di lapak-lapak Facebook: Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 karya Benedict Anderson (Sinar Harapan, 1988) dan The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966 karya Robert Cribb (Mata Bangsa, 2003). Selamat berburu, dan siapkan kocek yang tebal jika sewaktu-waktu menemukannya!
(mmu/mmu)