Para pelanggan yang dia ingat dengan baik adalah individu aneh, para eksentrik berpakaian lusuh yang menghabiskan uangnya atas buku-buku dan katalog daripada baju dan makanan ~ Libri di Luca, Novel tentang Perkumpulan Rahasia Pecinta Buku, Mikkel Birkegaard (terjemahan Serambi, Jakarta, cetakan 1, Novemver 2009).
"Jooosss...!" Rony Rudal terpekik girang. Lelang buku yang dibukannya berakhir dengan happy ending. Tjerita dari Blora karya Pramoedya Ananta Toer edisi cetakan 1964 yang dilelangnya ditutup dengan angka yang memuaskan: Rp 520 ribu.
Rony Rudal? Lelang buku? Jangan tertawa dulu. Rony Rudal itu nama sebuah akun Facebook yang beralamat di Malang, salah satu dari ribuan akun jualan buku bekas yang populer di jagad maya. Dan, lelang buku adalah salah satu modus yang biasa ditawarkan oleh akun penjual buku untuk melepas koleksi yang dinilai langka ke pasaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam bulan yang sama, lelang juga digelar oleh akun bernama Mijilnya Gieb yang beralamat di Jakarta. Pada 25 September ia melelang buku Hoakiau di Indonesia, lagi-lagi karya Pramoedya. Bid dimulai dari Rp 20 ribu dengan minimal kenaikan selanjutnya Rp 10 ribu. Ketika ditutup pada 27 September pukul 22.00 WIB, buku terbitan Garba Budaya cetakan kedua tahun 1998 tersebut terjual dengan harga Rp 330 ribu.
Menjual buku langka di Facebook memang gampang-gampang susah, demikian pula berlaku hal yang sama bagi peminat yang ingin mendapatkan sebuah buku tertentu. Di kalangan para pecinta buku ada ungkapan, buku ibarat jodoh, kalau belum takdirnya tak akan bertemu. Oleh karenanya, berbagai cara dan pendekatan dilakukan baik oleh para penjual maupun (calon) pembeli terhadap sebuah buku.
Di forum-forum komunitas online seperti Kaskus, selain terjadi diskusi dan penawaran berbagai macam barang, bukan hal baru ketika ada orang yang mengumumkan tengah mencari sebuah buku. "Permisi agan-agan, ane lagi mencari buku lama judulnya Kekalahan Manusia Petani: Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian karangan Greg Soetomo...kalo ada yang punya di rumah atau mau dijual ane mau beli gan...SMS aja ke no ane ya gan," demikian pernah terbaca dari seorang user yang meninggalkan nomer teleponnya.
Seorang pecinta buku dengan Facebook Rama Prambudhi Dikimara bahkan membuat album khusus di akunnya yang diberi nama Buku-Buku Yang Saya Cari. Di album itu, direktur Lembaga Kajian Pendidikan, Kebudayaan dan Politik Dewantara Institute tersebut memajang foto-foto buku yang tengah diburunya, dan berharap jika ada orang yang menjualnya mau menghubunginya. Tampak di album tersebut buku-buku langka bertema seputar sejarah komunisme di Indonesia, seperti PKI Korban Perang Dingin (Sejarah Peristiwa Madiun 1948). "Sampulnya merah putih dengan gambar palu arit dan nama-nama penulis Aidit dan Musso," tulisnya menambahkan keterangan untuk memperjelas.
Lucunya, postingan di album itu justru segera menarik perhatian orang yang menyatakan berminat untuk memesannya. Hal itu menunjukkan bahwa minat terhadap buku langka di pasar Facebook sungguh tinggi. Rama punya istilah untuk proses perburuan buku di Facebook tersebut, yakni gerilya buku. Dan, dengan sendirinya dia pun menyebut dirinya sebagai gerilyawan buku. Hingga kini ia masih terus bergerilya untuk mencari buku-buku yang ingin dimilikinya.
Istilah gerilyawan buku juga digunakan oleh Mijilnya Gieb, ketika menggambarkan dunia perburuan dan jual-beli buku bekas. "Peredaran buku di Jakarta itu sudah dimulai saat dini hari. Saat kita terlelap, para gerilyawan buku sudah berebutan jatah buku bagus di sebuah pojok lusuh utara Jakarta," ujarnya. Pojok lusuh utara Jakarta yang dimaksudkannya adalah Jatinegara.
Dari "pojok lusuh" itulah harta karun bernama buku bekas, buku langka, dokumen-dokumen dan arsip bersejarah, naskah-naskah tua berdebu digali, diseleksi, dipilah-pilah untuk kemudian dipajang di dinding Facebook, ditawarkan dengan harga tertentu, atau dilelang, dan diserbu serta jadi rebutan banyak peminat. Mereka, baik para penjual maupun pembeli --yang pada dasarnya adalah sama-sama gerilyawan buku-- adalah para penjaga ilmu pengetahuan di era cyberloak, era pasar loak maya, meminjam istilah Putut Widjanarko dalam buku Elegi Gutenberg: Memposisikan Buku di Era Cyberspace (Mizan, Bandung, cetakan pertama, Mei 2000). Dalam istilah Rama, mereka adalah "manusia-manusia aneh di zaman yang serba instan".
Apapun istilahnya, para pecinta dan kolektor buku, maupun siapa saja yang sewaktu-waktu membutuhkan rujukan untuk keperluan penelitian dan hal-hal akademis lainnya, patut berterima kasih kepada orang-orang seperti Mijilnya Gieb, Rony Rudal dan akun-akun penjual buku di Facebook yang jumlahnya barangkali ribuan. Jerih payah mereka telah memudahkan distribusi pengetahuan di masyarakat. Walaupun itu mungkin memang menjadi mata pencaharian, atau setidaknya apa yang mereka lakukan itu memiliki nilai ekonomi bagi dirinya, namun dampaknya jauh lebih besar daripada itu.
Selain "pojok lusuh" yang digambarkan Mijil, menurut pemilik akun jualan di Facebook asal Solo, Ariyanto Mahardika, salah satu sumber penggalian "harta karun" buku (bekas) adalah pameran-pameran berskala besar yang biasanya penuh obral. Di Jakarta saja, dalam setahun ada empat kali pameran buku, begitu pun di Bandung dan kota-kota besar lainnya seperti Yogyakarta bahkan Solo. Pameran buku telah menjadi agenda rutin di berbagai kota, dan para pegadang buku akan berburu buku di arena itu untuk dijual kembali. Selain di berbagai pameran, mereka juga menyambangi pasar-pasar buku bekas seperti Palasari dan Jalan Kahuripan di Bandung, Shopping Center di Yogyakarta atau Alun-alun Utara di Solo.
Gudang-gudang penerbit pun tak luput menjadi incaran para pedagang buku tersebut. Pendek kata, itu artinya mereka telah menjalankan peran dalam satu rantai panjang distribusi buku sebelum akhirnya sampai ke pengguna. Perjalanan buku memang jadi lebih panjang, tapi bayangkan, tidak semua orang berkesempatan pergi ke pameran atau apalagi menghabiskan waktu mengulik pasar-pasar loak. Bahkan di masa sekarang, ke toko buku pun menjadi kemewahn bagi orang sibuk. Maka pilihannya adalah penjualan online. Hal itu terbukti dari lakunya pula buku-buku baru yang sebenarnya masih beredar dan mudah dijumpai di toko buku. Para pedagang buku di Facebook, ya, para gerilyawan buku itu, telah menjadi jembatan antara penerbit, toko buku, dan eksibitor-eksibitor buku lainnya dengan masyarakat modern yang sebagian besar waktunya habis di depan internet.
(mmu/mmu)