Membajak Pram, Membangkitkan Kembali Aidit

Cerita Baru Buku Lama (3)

Membajak Pram, Membangkitkan Kembali Aidit

- detikHot
Kamis, 09 Okt 2014 12:04 WIB
Jakarta -

Kukira dalam 10 tahun terakhir banyak buku langka yang telah meroket harganya. Jika hendak membeli buku aku mungkin akan mencari Salman Rushdie atau Jack London atau Booth Tarkington ~ John Charles Gilkey, pencuri buku langka di Amerika dalam buku The Man Who Loved Books Too Much (terjemahan penerbit Alvabet, Jakarta, cetakan 1 April 2010).

Β 

Β 

Anak muda itu mengambil sebuah buku dari tumpukan di sebuah kios di Pusat Buku dan Majalah Bekas Blok M Square, Jakarta Selatan. Buku bersampul lukisan wajah bertopi Pramoedya Ananta Toer itu menarik perhatiannya. "Ini berapa, Mas?" tanyanya ke penjual.

Si penjual, pria yang berusia sepantaran, mengambil alih buku itu dari tangan calon pembelinya, dan menimbang-nimbang. Agak lama ia mengamati setiap sudut buku itu, sebelum akhirnya menyebutkan angka, "Tujupuluh ribu!"

Calon pembeli itu kaget. "Mahal amat!" protesnya spontan, sungguh tak menyangka dengan harga yang disebutkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Buku-buku Pramoedya memang mahal, Mas!" balas penjaga kios.

Calon pembeli itu tertawa kecil. Buku yang ada di tangannya itu sebenarnya bukan "buku Pramoedya", dalam arti buku atau novel karya sang penulis legendaris itu. Melainkan, sebuah pembahasan tentang karya-karya Pram, yang diangkat dari skrispi sarjana Eka Kurniawan yang kemudian diterbitkan dengan judul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Awalnya, buku itu diterbitkan oleh Jendela, Yogyakarta. Edisi yang tengah diperdebatkan harganya itu adalah versi terbitan Gramedia Pustaka Utama yang belakangan mengambil alih naskah itu setelah Penerbit Jendela tutup.

Kejadian di sebuah kios buku pada suatu sore itu hanya sebuah gambaran kecil betapa nama tertentu menjadi bintang dalam bursa buku bekas. Pramoedya Ananta Toer sudah tidak perlu dibahas panjang lebar. Namanya harum di urutan pertama tanpa perdebatan. Permintaan terhadap buku-buku karya Pram, baik novel maupun non-fiksi memang tinggi. Dan, persediaan barang di pasar terbilang langka. Hal itu memicu munculnya produk bajakan di pasaran. Di bursa buku bekas yang terletak di lantai bawah tanah Blok M Square tersebut, buku bajakan Pram menghiasi hampir setiap lapak dan kios. Tak hanya tetralogi yang terkenal itu, tapi karya-karya lain yang "kurang populer" pun dibajak. Sebut saja Sang Pemula, Arok Dedes hingga Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Belakangan, novel Arus Balik yang merupakan salah satu masterpiece Pramoedya yang paling diburu kolektor dan pecinta buku juga beredar bajakannya, dengan cetakan yang terbilang bagus, dalam kemasan hardcover yang gagah.

Buku-buku bajakan itu diperhalus dengan istilah POD (print on demand) atau cetak digital. Hal itu, konon, untuk menyiasati kelangkaan barang yang memang sudah tak bisa diatasi sementara permintaan pasar sangat tinggi. Buku-buku pram lainnya yang menjadi primadona "POD" adalah Cerita dari Jakarta dan Cerita dari Blora. Belakangan, tren "cetak digital" atas nama permintaan pasar itu merambah juga ke buku-buku lain. Kalau Anda ketemu karya-karya terjemahan Albert Camus ataupun Maxim Gorky keluaran penerbit-penerbit Jogja era 90-an, telitilah dengan detail, kemungkinan sangat besar itu versi "cetak ulang digital" alias bajakan dengan kualitas yang bagus. Buku sejarah karya Takashi Shiraishi Zaman Bergerak terjemahan penerbit Grafiti juga masuk dalam barisan ini; waspadalah.

Dan, jangan salah, buku-buku KW tersebut juga dijual dengan harga yang relatif mahal. Bajakan Tetralogi Pulau Buru mungkin masih bisa dibawa pulang dengan harga Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu per buku. Tapi, untuk Cerita dari Blora atau Cerita dari Jakarta minimal Rp 60 ribu.

Namun, di sela-sela produk bajakan tersebut, tak menutup kemungkinan pembeli bisa menemukan buku yang asli. Bila itu terjadi, jangan kaget, harganya pasti dibandrol tinggi sekali. Buku Percikan Revolusi Subuh yang bersampul hijau-angker itu pernah muncul dengan label harga Rp 300 ribu! Di beberapa akun jualan buku di Facebook, novel Arok-Dedes cetakan pertama tahun 1999 bisa laku minimal Rp 400 ribu. Keluarga Gerilya cetakan 1960-an ditawarkan dengan harga Rp 550 ribu dan langsung dipesan. Karya Pram lainnya, Tempoe Doeloe terbitan Hasta Mitra, 1982 juga memiliki pasaran harga yang sama, di kisaran Rp 500-an ribu. Sedangkan dua jilid Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ditawarkan seharga Rp 700 ribu.

Beda di pasar offline, beda pula situasinya di pasar online. Di lapak-lapak jualan buku di Facebook, produk bajakan nyaris tak punya tempat. Para pedagang maupun pembeli, yang pada dasarnya adalah sama-sama pecinta dan kolektor buku, sangat menghargai karya asli. Namun, memang ada sedikit pengecualian. Ada satu nama selain Pramoedya yang juga menjadi primadona lapak buku bekas, namun cukup bisa dimaklumi jika karya-karyanya beredar dalam versi bajakan. Nama tersebut adalah DN Aidit.

Selama ini, masyarakat umum mungkin hanya mengenal nama tersebut dalam kaitan dengan kontroversi G30S. Padahal, sebagai ketua partai dan politikus, Aidit adalah seorang pemikir dan penulis yang produktif. Nah, buku-buku hasil buah pikiran Aidit tersebut kini menjadi buruan para kolektor dan pecinta buku. Dikarenakan buku-buku Aidit jauh lebih langka dibandingkan dengan karya-karya Pram, maka pembajakan terhadapnya seolah bisa diterima.

Hal itu terbukti ketika sebuah akun pedagang buku bernama Bukuku Lawas yang beralamat di Solo mem-posting "buku" karya Aidit berjudul Menempuh Djalan Rakyat edisi tahun 1952. Ia memberi keterangan tambahan bahwa "buku" tersebut hanyalah versi "repro scan" tapi "persis aslinya". Cetakan supertipis yang berisi pidato Aidit tersebut ditawarkan dengan harga Rp 55 ribu per eksemplar, dan ia memiliki stok 22. Apa yang terjadi? Dalam waktu kurang dari seminggu buku tersebut sudah ludes dipesan.

Kendati demikian, segala kemungkinan bisa terjadi di jagad penjualan buku online, dan kemunculan versi cetakan asli karya Aidit pun bukan "hil yang mustahal". Pada suatu kali sebuah akun menjual 'Pilihan Tulisan' Jilid 1, 2 dan 3 karya Aidit dengan tambahan keterangan "bukan fotocopy". Buku-buku itu dicetak pada tahun 1959, 1960 dan 1965 dalam kemasan hardcover oleh Jajasan Pembaruan, Jakarta. Total setebal 1500 halaman! Berapa harganya? Untuk buku-buku tertentu yang tergolong sangat langka, pemilik akun biasanya tak mencantumkan harga. Peminat dipersilakan mengontaknya dengan mengirim pesan pribadi atau SMS.

Belakangan, buku Aidit yang berjudul Menggugat Peristiwa Madiun juga muncul di lapak Facebook, dan langsung diserbu peminat yang menanyakan harganya. Mengingat langkanya edisi asli buku ini, maka urusan harga dibicarakan secara bisik-bisik di luar kolom komentar.

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads