63 Tahun Berkarya, Dedy Lutan Tak Pernah Patah Semangat

63 Tahun Berkarya, Dedy Lutan Tak Pernah Patah Semangat

- detikHot
Kamis, 10 Jul 2014 19:10 WIB
Dedy Lutan mengigit mandau saat menari di GKJ pada Desember 2013 lalu dalam rangka 23 tahun Dedy Lutan Dance Company (Dok.DLDC)
Jakarta - Dua bulan lalu di bawah pohon kenari babi yang berusia 128 tahun, para penari Dedy Lutan Dance Company (DLDC) menari dengan khusyuk di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Tarian tersebut berjudul 'Hutan Pasir Sunyi'.

Gerakan mereka seperti menyembah terhadap pohon. Alam pun turut mengamini tarian Dedy Lutan Dance Company selama hampir 2,5 jam. Dedaunan jatuh meski tak ada angin saat itu, khususnya saat garantung ditabuh kian kencang. Suasana mistis dan khidmat terasa sekali di sana.

Tarian yang diciptakan oleh koreografer sekaligus pendiri DLDC ini merupakan syarat kelulusan S3 di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Ia lulus dengan predikat 'cumlaude' dan memuaskan para hadirin yang nonton pertunjukannya kala itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Doakan kesehatannya yah, mbak. Saya takjub Beliau kuat sampai saat ini. Padahal kalau kesehatannya membaik, kami mau tampilkan tariannya di hutan Kalimantan," ujar Elly kepada detikHOT beberapa waktu lalu.

Kamis petang (10/7/2014) di kediamannya kawasan Kebagusan Jakarta Selatan, Dedy meninggal dunia. Di tahun 2011, ia pernah terserang stroke. Kabar duka ini tersiar sejak pukul 4 sore dan membanjiri timeline facebook istrinya Elly D.Luthan. Keluarga dan para kerabat dekat pun mengucapkan duka.

Nama Dedy dikenal sebagai koreografer tari tradisi Indonesia. Dedy lahir 63 tahun lalu dari orang tua asal Minangkabau. Ayahnya adalah seorang aktivis politik dan pengusaha penerbitan. Sebelum masuk ke Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) atau kini disebut IKJ, ia sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.



Sekitar 23 tahun lalu, ia mendirikan DLDC bersama istrinya. Kini DLDC berada di bawah pimpinan Iga Mawarni. Sepanjang karirnya menjadi penari ia pernah tampil di berbagai negara seperti Korea Selatan, Malaysia, Australia, Thailand, Jepang, Kanada, dan Hong Kong.

Ia tak hanya menciptakan tarian kontemporer namun juga tradisi dan memberikan nilai kemanusiaan di dalamnya. Demi menciptakan tarian, Dedy pun keliling ke pedalaman Indonesia. "Beliau tinggal bersama suku Dayak Kalimantan dan semua daerah yang ada tari tradisi dijelajahinya," tutur Elly.

Dedy juga pernah terinspirasi oleh novel roman karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul 'Gadis Pantai'. Dari situ, ia membuat tarian 'Perempuan Lala' yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta Juni 2006 silam. Tarian ini adalah garapan antara tari tradisi Sumbawa dan non tradisi.

Beberapa tarian yang pernah diciptakannya yakni Tanah yang Hilang (2007), Rijog Pasir yang Sunyi (2004), Ketika Anggrek Hitam Berbunga (2002), Gandrung Eng Tay dan Gandrung Blambangan (1997), Iki Buru Gandrung (1994), Kadung Dadi Gandung Wis (1990), dan lain-lain.

Kini, dunia tari Indonesia kembali berduka. Kehilangan seorang maestro ternama. Sepanjang usianya, Dedy tak pernah patah semangat memperjuangkan seni tari tradisi. Selamat jalan, Pakde Dedy...



(tia/ron)

Hide Ads