Kalimat bernada sendu yang menghentak rasa kemanusiaan itu merupakan salah satu dari bagian yang menggelitik dari novel berjudul 'Bandar' karya Zaky Yamani. Emak macam apakah yang mewariskan bisnis terlarang kepada anak-anaknya?
Novel ini dibuka dengan penggambaran kehidupan sehari-hari di Gang Somad, yang disebutkan sebagai "pemukiman kumuh di pojok kelam Bandung".
Tokoh kita, Parlan bin Gaffar Rahmat Setiadi, 27 tahun, hadir sebagai orang pertama "aku" yang tengah menuturkan kegelisahannya. Bercita-cita punya karier di bidang hukum sesuai kuliahnya, ia baru saja diminta ayahnya, Gaffar atau biasa dipanggil Kang Gopar, seorang bandar besar narkoba, untuk meneruskan bisnis turun-temurun di keluarganya itu.
Parlan tak menyangka, ayahnya akan meminta hal itu. Keraguan Parlan membuat Gopar akhirnya membuka sebuah kisah. "Cerita hidupku sendiri, yang akan kumulai dengan cerita tentang nenekmu..." kata Gopar. Dari situ, pembaca pun ditarik mundur ke belakang, pada sebuah cerita panjang perjalanan hidup seorang perempuan bernama Dewi, yang kelak melahirkan Gopar, dan anak turunnya.
Kisah Dewi membawa kita ke zaman ketika sisa-sisa tentara DII/TII pimpinan Kartosuwiryo masih berkeliaran di hutan-hutan Jawa Barat. Lahir dari keluarga kiai yang terpandang, nasib Dewi berada di tangan ayahnya. Ia akan dijodohkan dengan anak kiai sahabat sang ayah. Menolak perjodohan itu, Dewi berhasil melarikan diri dari desanya Wanaraja ke Tasikmalaya. Lalu, tangan-tangan nasib yang lain silih berganti menentukan arah hidup Dewi hingga akhirnya ia terdampar di Bandung menjadi penjual ganja, setelah sebelumnya sempat terjerumus dalam pelacuran di Tasikmalaya.
Dewi barangkali tipikal tokoh perempuan dalam novel Indonesia; lemah, tak berdaya dan nasibnya ada di tangan laki-laki di sekitarnya. Tapi, Zaky Yamani lewat novel debutnya ini dengan cerdik menggunakan "klise" itu secara sadar sebagai strategi naratif untuk kepentingan cerita. Walaupun tak terhindarkan bahwa suara feminis sang pengarang terasa masuk dan mewarnai karakter Dewi, namun novel ini tak terjatuh ke dalam kotbah yang kering. Itu terjadi karena Zaky memikili bahan cerita yang solid, kompleks dan tahu benar arah ceritanya.
Tanpa berusaha keras untuk berindah-indah dalam bahasa --suatu gejala yang kerap menghinggapi penulis kita agar karyanya digolongkan ke dalam kategori "sastra"-- Zaky memikat pembaca sejak halaman pertama. Ia menumpukan daya tarik novelnya pada kekuatan alur dan karakter tokoh-tokohnya. Novel setebal 299 halaman ini pun terasa mengalir deras, tangkas dan utuh, sehingga meninggalkan kesan yang mendalam bagi siapapun yang usai membacanya.
Cara Zaky bercerita walaupun dengan teknik yang konvensional dan "tertib", namun mampu memberikan rasa penasaran yang merata pada tiap bagian, sehingga mengikat pembaca untuk menyelesaikannya dalam sekali duduk. Kita tak hanya dibuat penasaran, tapi juga cemas dan deg-degan atas nasib Dewi selanjutnya.
Peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Indonesia menjadi latar perjalanan hidup Dewi. Walaupun dikilas dalam sapuan tipis-tipis, latar sejarah tersebut terasa kuat ikut menentukan nasib sang tokoh, dan bukan hanya sebagai tempelen untuk membuat novel ini terasa gagah dan "penting". Bahkan, pada akhirnya boleh dibilang bahwa Zaky sebenarnya tengah memotret sejarah Indonesia lewat sebuah keluarga bandar narkoba.
Tiga generasi turun-temurun yang menjadi tokoh utama novel ini, Dewi (ibu) - Gopar (anak) - Parlan (cucu), pada satu titik, akan meminta kita untuk membacanya secara lebih dalam, sebagai personifikasi dari lingkungan yang lebih besar, melampaui sebuah keluarga dan kampung. Kalau kita punya sedikit waktu untuk berefleksi, maka akan tampak betapa Dewi bisa saja mewakili Ibu Pertiwi yang baru saja memulai sebuah hidup baru pasca zaman kolonial. Sedangkan Gopar adalah generasi bangsa merdeka, mulai berkuasa dan berdiri di atas kaki sendiri, dengan segala problematikannya. Lalu, Parlan, adalah metafora dari sebuah generasi baru yang gamang, generasi tuna sejarah yang kebingungan menentukan arah untuk melangkah.
Namun, terlepas dari berbagai penafsiran yang mungkin --karena sebuah novel selalu terbuka untuk ditafsirkan dengan cara apapun oleh pembaca-- novel ini tetap enak dan menyenangkan untuk dinikmati sebagai "sekedar" cerita, dongeng, hikayat sebuah keluarga yang mengalami perjalanan hidup yang luar biasa. Inspiratif? Ah, kalau yang dimaksud dengan "kisah inspiratif" adalah yang akan membuat pembaca menjadi kaya, lupakan saja. Novel ini mungkin lebih merupakan cermin, tempat pembaca, kita semua, dapat melihat dengan jujur wajah sendiri, sejarah dan masa depan sendiri.
(mmu/mmu)