Namun, penari pria itu tetap melucuti kainnya sampai habis. Gelung atau ikatan rambutnya juga dilucuti. Rambut panjangnya terurai berantakan.
Drupadi terduduk lesu. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. "Kau Drupadi, sudah tak punya apa-apa lagi," ucap penari pria itu dengan lantang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu potret dalam visual kehancuran sebuah kota muncul. Terdapat kilas foto kebanjiran, gempa bumi, gunung berapi meletus, peristiwa penjarahan 1998 dan sebagainya.
Setelahnya, sosok Drupadi masuk dengan kain selendang berwarna putih bersama para penari lainnya. Kisahnya tak berhenti sampai di sana, Drupadi masih menjalani lakonnya sebagai ibu bumi dan pertiwi.
Lakonnya akan dipentaskan mulai malam ini hingga esok di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Pentas yang berjudul 'Pulung Gelung Drupadi' ini mengambil versi Jawa. Serta menceritakan empat momen penting dalam hidupnya.
Di antaranya saat dirinya dipertaruhkan dalam judi antara Pandawa dan Kurawa. Kedua, saat Drupadi membantu Pandawa merebut kehormatannya kembali, dan bagaimana Drupadi mendampingi Pandawa menjelang Bharatayuda. Serta bagian terakhir, perannya di akhir hayat kelima tokoh Pandawa.
"Drama tari ini adalah salah satu bentuk kampanye budaya kami, sebagai bentuk kepedulian yang konkrit terhadap budaya nusantara, yaitu dengan tradisi Jawa," ujar penulis naskah dan pengarah kreatif pertunjukkan, Mitu M. Prie.
Pentas ini tak hanya sarat dengan tradisi budaya, tapi Yayasan Suksma Budaya juga mengemasnya dalam dialog satir dan modern. Serta mengandung unsur kekinian dan teknologi multimedia. Kemudian, bagaimana akhir dari kisah Drupadi?
Dalam perjalanannya menuju moksa atau khayangan, Drupadi bersama lima penari lainnya muncul. Kelimanya berjalan pelan menaiki tangga kecuali Drupadi. Ia berkata, "Lanjutkan langkahmu Yudhistira ke alam para dewa. Aku harus berhenti. Di sini. Karena tempatku di bumi."
(tia/utw)