Seni pertunjukan ini berkolaborasi dengan seniman lintas generasi dan multi disiplin untuk Festival Kesenian Yogyakarta ke-25. Serta berlanjut ke proyek mapping lainnya hingga sekarang ini.
"Ini adalah karya mapping paling menantang," ujar seniman Raphael Donny kepada detikHOT Selasa lalu (25/3/2014). Alasannya ada beberapa hal yakni di antaranya karena posisi yang susah dan tekstur bangunan yang sudah berlumut.
Serta rusak secara arsitektural. Ditambah lagi kolaborasi dari sekitar 30 seniman menjadikan proses produksinya begitu kompleks.
"Kami juga memakai situs-situs bersejarah yang ada di kota Yogyakarta," ujar pria yang akrab disapa Donny. Saat itu, ia bertindak sebagai koordinator program.
Lokasi yang menjadi video mapping di antaranya Pulau Cemeti di Pasar Ngasem, sebuah situs sejarah berupa reruntuhan bangunan peninggalan kerajaan Mataram.

Selain itu, juga terdapat Stasiun Tugu, Plengkung Gading, dan Gedung Apotik Heritage di Malioboro yang tak kalah menantang untuk dimapping.
Menurutnya, sejarah pergerakan video mapping di kota Yogyakarta baru pertama kalinya digelar secara massal tahun lalu. "Sebelum ada #JVMP, gerakan video mapping masih berskala kecil, bersifat individual dan terbatas di komunitas tertentu atau scene terbatas," katanya.
Pernah ada yang digelar secara massal, tapi itu berasal dari seniman luar negeri. "Kalau kemarin, semuanya lokal baik penyelenggara dan senimannya dari Indonesia."
Donny yang juga berprofesi sebagai visual jockey (VJ) sejak tahun 2002 ini sudah membuat belasan karya video mapping. Namun ia baru fokus mengerjakannya pada 2008 silam.

Karyanya sudah menyebar ke Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Kuala Lumpur, dan sebagainya. Ia juga pernah bekerja sama dengan para Disc Jockey (DJ) ternama dunia maupun seniman tanah air.
Dunia video mapping, kata Donny, tak bisa dilepaskan dari peran para VJ yang sering pentas di berbagai event outdoor dan indoor. "Saya sendiri awal mencoba video mapping karena di sebuah pementasan teater tahun 2008 di Salihara, di mana video mapping hadir sebagai element penunjang pementasan teater."
Namun, kini ketika sebuah bentuk pertunjukan video mapping bisa berdiri sendiri sebagai menu utama seperti yang terjadi di Museum Fatahillah, maka karya ini akan lebih dikenal oleh masyarakat.
(tia/utw)











































