Khasanah penerbitan buku fiksi dewasa ini memberikan keragaman yang barangkali belum pernah terjadi sebelumnya. Dari novel yang mengolah kembali latar sejarah Indonesia pada zaman kerajaan, hingga biografi tokoh semua tersedia. Tak perlu disebutkan lagi bahwa novel-novel bertema cinta juga masih mendominasi pasar, dengan aneka labelnya dari 'metropop' hingga yang dikemas khusus dengan konsep semisal 'setiap tempat punya cerita'.
Namun, di tengah tren yang hiruk-pikuk itu, novel dengan tema 'dewasa' atau 'serius' juga tak ditinggalkan. Dua di antaranya yang akan dibahas di sini adalah 'Lingkar' karya Kiki Raihan (Rakbuku, 2014) dan 'Renjana' karya Anjar (Gramedia, Desember 2013). Disebut bertema 'dewasa', karena dua novel tersebut menggarap tema yang tak biasa, yang keluar dari tren kisah cinta remaja. Sedangkan disebut 'serius', bukan berarti novel lain tak (digarap) serius, melainkan kedua novel ini tampil dengan cara bertutur yang tak terjebak dalam kelatahan dialek "lu-gue" ala Jakarta.
Lihat bagaimana 'Lingkar' dibuka: Aku bukan orang suci. Dalam hal percintaan, semua perempuan yang pernah dekat denganku menyebutku bajingan bahkan penjahat kelamin. Jujur dan provokatif! Lalu, simak pula pembukaan 'Renjana' yang menggambarkan sebuah ruangan di gereja, dan seorang pendeta yang baru saja menyelesaikan tugasnya. Pembaca pun dibuat penasaran, cerita apa yang akan diberikan oleh tokoh-tokoh seorang "penjahat kelamin" dan pendeta?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bisa dibilang ini novel tentang bagaimana takdir bekerja, tapi sebenarnya Lingkar ingin menggarisbawahi ungkapan yang selama ini sering kita katakan, yakni bahwa hidup adalah pilihan. Memang betul hidup itu pilihan, tapi konsekuensi dari apa yang kita pilih itu berada di luar kendali kita," ujar Kiki ketika meluncurkan novel tersebut di Kemang, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. "Kita terhubung dengan orang lain secara ajaib, dan mungkin tak pernah menyadari bahwa apa yang kita lakukan punya akibat terhadap kehidupan orang lain," tambahnya.
Hampir senada dengan 'Lingkar', 'Renjana' juga mempertemukan tokoh-tokohnya untuk menggarisbawahi makna dan konsekuensi dari relasi-relasi di masa lalu terhadap masa kini. Ola bertemu kembali dengan Daus di sebuah kapel kecil dalam kondisi yang sudah tak sama lagi. Daus, tambatan hatinya 10 tahun lalu, kini telah menjelma menjadi seorang romo. Bagi Ola, pertemuan kembali itu mendatangkan gemuruh yang dahulu pernah ada di hatinya. Sementara, bagi sang romo munculnya Ola yang tak terduga-duga itu seolah menantang kembali panggilan jiwanya yang telah menyerahkan hidupnya hanya untuk melayani Tuhan.
Untuk memperkuat ceritanya, Anjar memberikan kisah pengiring yang sama-sama bergulir atas nama cinta lama yang kembali. Wie dan Tra, yang masing-masing telah memiliki ikatan pernikahan dengan orang lain, ternyata sama-sama masih menyimpan rasa yang tak pupus oleh waktu. Senasib dengan Romo Daus, Wie seolah berada di persimpangan jalan yang membingungkan. Apa yang harus mereka lakukan? Benarkah hidup ini soal pilihan? Kalau iya, siapa yang akhirnya mereka pilih?
Menurut Anjar, pada dasarnya 'Renjana' adalah pernyataan tentang komitmen. Yakni, komitmen kepada cinta, waktu dan pilihan. "Cinta untuk semua hal dan makhluk, komitmen pada waktu karena ada hal-hal yang kadang menuntut kesabaran, dan tentang pilihan hidup masing-masing orang yang harus dihormati," ujar Anjar saat dihubungi detikHot, Selasa (25/2/2014). "Kalau mau dikaitkan dengan tren, Renjana melawan arus, dilihat dari gaya bahasa dan ide cerita termasuk cover-nya," sambung novelis kelahiran Tanjungkarang, Lampung yang kini menetap di Bandung itu.
Novel setebal 239 halaman tersebut adalah karya kesekian dari Anjar yang telah melahirkan berderet novel motivasi, novel relijius, novel inspirasi hingga biografi. Novel pertamanya berjudul 'Beraja: Biarkan Ku Mencinta' terbit pada 2002. Sedangkan 'Lingkar', novel setebal 187 halaman, merupakan karya pertama dari Kiki Raihan, lulusan Fakultas Seni Rupa ITB yang kini mengajar seni di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Pekerjaan 'sambilan'-nya sebagai pembaca Tarot memberi sentuhan lain yang beraroma 'mistis' bagi novelnya.
(mmu/mmu)











































