Namanya Kancata, kelompok ini sudah eksis sejak tahun 2009 silam. Ada tiga orang yang terlibat di dalamnya, Dwie Judha Satria, Dicky Saputra dan Arthur.
Dwie Judha dan Dicky Saputra berperan sebagai ilustrator, ini memang sesuai dengan bekal ilmu yang mereka gali di jurusan Desain Komunikasi Visual, Universitas Trisakti. Sementara Arthur tugasnya untuk mengatur manajemen juga keuangan.
Memang mereka spesialisasinya bukan membuat mural pesanan. "Kalau untuk pengerjaan mural kita belum rutin, tergantung pesanan. Tapi Kancata kan bekerja di bidang ilustrasi jadi cakupannya luas. Proyek-proyek kita enggak cuma membuat mural saja, misalnya membuat ilustrasi buku, poster atau kalendar," kata Dwie Judha Satria kepada detikHOT (20/2/2014).

Untuk mural sendiri, mereka setidaknya sudah mengantongi tiga proyek sebelumnya. Ada yang untuk acara peluncuran produk cat, lalu peluncuran @America dan sebuah restoran.
"Dua proyek sebelumnya itu bagian dari event, kalau untuk interior kita pernah membuat untuk sebuah restoran Meksiko di Jakarta."
Dwie Judha juga menceritakan, gimana asal-usul mural. "Mural sebenarnya sudah berangkat dari jaman Renaissance, di gereja-gereja jaman dulu sudah ada mural. Dari awal ini ditujukan sebagai hiasan atau sifatnya dekoratif," jelasnya.
Saat era tersebut, pemesanan mural itu langsung dari pihak gereja, dan mereka yang meminta seorang seniman untuk menorehkan karya di dinding gerejanya.
Dulu nama seniman mural yang terkenal adalah Diego Rivera, suami dari Frida Kahlo. "Dia memang sering diminta untuk membuta mural di suatu bangunan tertentu," kata Dwie.
Ia juga memaparkan bahwa memang mural dalam sisi ini memang sebuah seni yang dijual-belikan. Namun bukan lantas ideologinya ikut digadaikan pada selera pembeli, setidaknya ini yang dialami Kancata.
Dari pengalaman mereka, orang-orang yang meminta dibuatkan mural biasanya hanya menceritakan apa yang mereka inginkan dan sisanya dibebaskan kepada tangan-tangan kreatif para ilustrator untuk membuatnya.
Untuk harga mereka juga tak mematok harga khusus pada kliennya. "Karena kita enggak hanya spesifik di pembuatan mural, jadi kita enggak bisa pakai sistem harga seperti yang dipakai oleh orang yang bekerjanya sebagai seniman mural. Kalau mereka bisa punya patokan per meter."
Sementara kalau di Kancata solusinya mereka selalu lihat proyek kerjanya dulu lalu lihat bidangnya seberapa besar. Mereka juga tentunya akan lihat tingkat kesulitannya.
Tapi yang paling menarik, Kancata tak segan-segan berikan klien harga murah bila tingkat 'senang-senang' dan kebebasannya yang diberikan juga banyak. "Kita lihat apa kita bisa enjoy kerjainnya. Ini pengaruh ke harga."
Bagi Kancata, mural memang bukan sesuatu yang tengah digandrungi namun para pecinta seni sejati, pastinya akan tahu bahwa mural tetap tak tergantikan. Ini memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan kertas dinding atau poster yang dicetak digital.
"Karena mural benar-benar dikerjakan langsung tanpa medium perantara lagi. Kalau kertas dinding itu artifisial sih, jadi sebagus-bagusnya kualitas kertas dinding, ada rasa yang enggak bisa didapat," jelasnya.
Fungsi mural sendiri bagi Dwie Judha adalah untuk menambahkan tingkat ketertarikan pengunjung akan sebuah ruangan.
(ass/utw)











































