Tema Sosial Politik, Jadi Mural yang Lebih Menarik

Dinding Berpuisi Wiji Thukul (7)

Tema Sosial Politik, Jadi Mural yang Lebih Menarik

- detikHot
Rabu, 05 Feb 2014 14:10 WIB
Tema Sosial Politik, Jadi Mural yang Lebih Menarik
Jakarta - Sejak masa sebelum kemerdekaan, mural dan grafiti menjadi salah satu media komunikasi massa sekaligus alat propaganda. Secara tidak langsung, sosial politik Indonesia juga berhubungan dengan perkembangan karya seni ini. Mengapa?

Menurut pendiri komunitas Serrum, MG Pringgotono secara sederhananya warga Jakarta melihatnya lebih menarik. "Simpelnya mereka menganggap begitu," katanya kepada detikHOT di Galeri Serrum, akhir pekan lalu.

Mural sosial politik akan lebih menarik lagi jika tergantung kepada peg peristiwa yang akan dihadapi. Misalnya, menjelang pemilihan umum atau baru tertangkapnya koruptor oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).



Namun, kata MG, tema sosial politik juga tergantung kepada pemilihan anglenya. "Bagi gue pribadi sih, lebih senang buat mural apa yang gue mau di ruang publik dan ada manfaatnya buat publik," ujarnya.

Jika mural jenis ini ditambah dengan segi artistik yang bagus dan mumpuni, itu akan lebih bagus lagi. Sayangnya, karya seni gratifi ini cenderung dianggap mengotori dinding dan termasuk tindakan ilegal.

"Ini yang membuat kebanyakan masyarakat enggak suka juga dengan grafiti," katanya.

Hal ini juga diakui oleh periset street art dan gratifi, Riksa Afiaty. Dalam persentasi hasil residensinya di Rumah Cemeti Yogyakarta akhir tahun lalu ia mengatakan perkembangan karya seni di Indonesia hampir tidak tercatat.

"Susah untuk menelusurinya dari awal. Makanya apa yang gue riset pun semakin chaos," ujarnya.

Ia juga menjelaskan jika karya seni grafiti di Indonesia memang terpengaruh oleh unsur budaya, musik, dan film. "Meski grafiti kita juga terpengaruh oleh American Style."

Bahkan, menurutnya kini grafiti maupun street art tidak hanya mampu menyebar di ruang publik saja. Namun, juga menyebar di dunia social media.

"Banyak seniman yang mulai sadar, ada respon dan feedback ketika mereka mempostingnya di socmed. Kerjaannya yang ilegal menjadi terlegitimasi dan bisa punya hastag," kata Riksa.

Oleh karena itu, para seniman sekarang sudah mempunyai tiga ruang yakni publik atau jalanan, galeri, dan dunia maya. "Dari mereka juga banyak yang sudah punya instagram."

Editor Indonesia Street Art Databese (ISAD), Leonhard Bartolomeus juga menulis di situs pribadinya jika seni jalanan ini memegang peranan penting dalam berbagai peristiwa sosial politik di Indonesia.

Terutama saat berlangsungnya sekitar tahun 1945 hingga 1949. Sayangnya, perkembangan street art di Indonesia sulit dilacak karena kurangnya pendokumentasian dan pengarsipannya.

Hal yang sama juga berulang ketika masa Orde Baru runtuh oleh gerakan mahasiswa. Di Yogya muncul Kelompok Taring Padi yang memuat karya turunnya Soeharto, dan sebagainya.



(tia/utw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads