Cerita bermula dari keinginan wanita 24 tahun itu memiliki karya buku sendiri pada 2012 lalu. Terlebih, genre yang ditulis masih langka, yaitu fan fiction Korea.
Dia memilih penerbit buku mandiri lantaran kesulitan menembus penerbit besar. Naskahnya hampir selalu dikembalikan dengan alasan tidak memenuhi syarat perusahaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya mereka cuma bantu nyetakin jadi buku doang. Karena tulisan kita sama sekali enggak diedit bahkan jenis hurufnya juga enggak diubah sesuai file kita. Aku sendiri sedikit kecewa dengan hasil cetakan bukunya karena enggak ada proses editing itu," katanya kepada detikHOT, akhir pekan lalu.

Puncak kekecewaan terjadi manakala royalti sebagai penulis tidak diperoleh sama sekali. Baik buku yang dicetak sendiri maupun naskah pemenang lomba yang diadakan pihak penerbit.
"Kami enggak dapat apa-apa. Jangankan royalti, satu eksemplar bukunya pun enggak. Alasannya, kalau lomba begitu hasil pembeliannya disumbangkan ke yayasan apa gitu," ujar Deti.
Dari pengalaman itu, ia kini tak tertarik lagi mengirim naskah ke penerbit mandiri. Meski diakui antara penerbit yang satu dan lain mungkin berbeda sistem.
"Aku jadi enggak tertarik lagi sama dunia self publishing. Lebih baik coba ke penerbit major (besar) saja deh, tantangannya lebih terasa," katanya.
Pengamat perbukuan Ahmadun Yosi Herfanda mengakui bahwa hal seperti di atas merupakan kelemahan dari penerbit buku mandiri dimana kualitas seolah jadi nomor dua.
Bagi mereka yang terpenting adalah mendapat order cetak dan mendapat keuntungan dari sana. Sejumlah penerbit indie bahkan lebih tepat disebut sebagai 'percetakan plus' karena orientasi hanya pada jasa cetak.
"Soal pemasaran, tentu saja tidak sebagus sistem pemasaran di penerbit komersial. Karena, jumlah buku-buku terbitannya kan kecil, sehingga tidak dapat masuk jaringan distribusi pemasaran buku yang besar," ujar Ahmadun.
(fip/utw)