Ada cerita dibalik keputusan tersebut. Semua berawal dari pertemuannya dengan seorang bapak penjual cincin di Taman Fatahillah. Waktu itu, sekitar tahun 1998-1999, David baru saja lulus Sekolah Tinggi Mesin (STM).
"Dulu sempat bingung mau kemana. Lalu enggak sengaja, pas saya di Fatahillah lagi iseng bikin sketsa, ada bapak-bapak bilang bahwa gambar saya keren, saya cocok masuk seni rupa. Dulu dia jualan cincin, tapi saya enggak pernah menemui dia lagi di sana," kata pria yang akrab disapa David ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Si bapak tadi lantas menyarankan untuk mengambil sekolah seni rupa di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Entah kenapa, David manut saja. Berangkatlah ia ke sana dan ikut serangkaian tes. "Cuma enggak lolos. Saingannya banyak banget ternyata se-Indonesia," ujarnya.
Sempat patah arang, pria 33 tahun itu kembali dimotivasi oleh sang bibi yang memintanya ikut seleksi di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Kali ini David berhasil.
Tujuh tahun mengenyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa membentuk jati diri yang selama ini tidak disadari sejak kecil. Bahwa hidupnya memang menggambar. "Dari situ mulailah karakter terbentuk, ya hidup saya di sini (menggambar)," kata David.
Pria lajang ini menyadari, menjadi pelukis tulen tidak bisa menjanjikan kehidupan mapan. Untuk itulah dia bereksplorasi dengan menjajal gambar kartun dan bekerja di sebuah media cetak.
Tapi, jangan salah. Naluri seorang seniman masih tetap menyala. Setidaknya dari keinginan untuk membuat pameran lukisan. "Keinginan bikin pameran itu tetap ada. Jiwa saya tetap jiwa pelukis. Mudah-mudahan tahun depan terwujud," ujarnya.

(fip/utw)