Ya, sampur merupakan selendang bagi penari pria. Selendang ini dikalungkan di leher dan dengan leluasa mereka bergerak. Bergeraknya pun tak seperti gemulai penari wanita.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Filosofi ini yang terus dipegang Bayu ketika akan pentas di atas panggung. Pria yang mengenyam pendidikan di Jurusan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini menciptakan tarian Ponorogo klasik dan kontemporer.
"Di sini, saya ingin menginterpretasikan semangatnya anak muda dalam menari. Pencarian yang utuh mengenai tradisi dan kontemporer," kata penari dalam Sie Jin Kwie dalam garapan Teater Koma tahun 2011-2012.

Oleh karena itu, Bayu memasukkan unsur vokabuler tarian cangkil, gagahan, dan gambeng dalam setiap gerakannya. Itulah yang membuat ia dan kawan-kawannya menari tampak gagah.
Jika tarian cangkil dimasukkanya lantaran Dedy Lutan sempat mengangumi jenis tarian ini. "Sampai mulut cangkeman cangkilannya masih disimpen Pak Dedy di kamar," ujarnya sambil tertawa.

Bayu yang juga ikut tinggal di sanggar Dedy Lutan Dance Company selama lima tahun ini juga aktif sebagai koreografer, sutradara dan penari di Komunitas Masyarakat Seni Solah Wetan, Ponorogo, Jawa Timur.
Ia juga aktif menari berkolaborasi dengan Elly D.Lutan, Nano Riantiarno, Nuryanto, Eko Suprianto, Eko Supendi, Sen Hea Ha asal Korea Selatan, Mugiono Kasido, dan sebagainya.
Kiprahnya dalam dunia seni tari pun sudah mendunia. Di antaranya, menjadi koreografer dalam tari kontemporer Infinita di 3 negara Eropa yakni Belanda, Perancis, dan Spanyol. Serta menari di karya tubuh senja koreografer Rianto di Cina tahun 2010.
(tia/utw)