"Ini tahun 1919. Anda akan mati di tahun 1970. Ini tahun 1919," ujar pria tersebut mengelilingi panggung.
Di tengah panggung, pria yang berpakaian lusuh dan dikenal sebagai tokoh 'Abu' terduduk lemas. Ia tak bergerak sama sekali, sampai tokoh 'Emak' yang berpakaian seksi tiba-tiba menghipnotisnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Cermin tipu daya. Itulah hipnotis dari Emak kepada Abu. Sepanjang hidupnya, Abu miskin mencari cermin tersebut. Cermin yang membuatnya kalap, kehilangan akal, dan meninggalkan istrinya.
Lakon berjudul 'Kapai-Kapai' yang dipentaskan oleh kelompok Study Teater 24 ini merupakan karya dari pengarang Indonesia, Arifin C.Noer.
Karya ini sudah dimainkan oleh banyak grup teater. Salah satunya adalah Teater Ghanta yang tahun lalu menyabet predikat grup terbaik pertama.
Sang sutradara Rizal Nasti mengatakan ia membuat versi lakon 'Kapai-Kapai' sesuai dengan pikirannya. "Saya menafsirkannya dari sekian banyak 'Kapai-Kapai' yang pernah dimainkan," katanya usai pementasan di Teater Jakarta, TIM pekan lalu.
Lakon tafsiran Rizal ini menuai banyak kritik dari tim pengkritik teater saat diskusi. Mereka adalah Malhamang Zamzam dan Semi Ikra Anggara.
"Di pemanggungan, terlalu banyak efek sepatu hentakan dan itu tidak menjadi metafor yang baru. Dia sudah mati, apakah ada cara-cara baru yang menghidupkannya," kata Malhamang.
Sedangkan Semi mengkritisi artistik panggung yang penuh dengan botol-botol dan pencahayaan panggung yang sangat terang.
"Botol-botol itu dan pewarnaan di tiap adegan, apakah mereka hanya diam saja? Apakah bisa mereka tidak diam dan ditarik masuk ke adegan," katanya.

Namun, ia mengatakan menyukai musik-musik Rollingstone yang sengaja dimasukkan sang sutradara dalam sisipan adegan. "Itu bawa penyegaran baru dalam versi 'Kapai-Kapai' tafsiran Teater 24," katanya.
Semi juga menyukai adanya transgender di tokoh Emak. Struktur karakter Emak yang mengintimidasi dan menghipnotis Abu masih ada, tapi dikreasikan dalam bentuk seksi lainnya.
(tia/utw)