Poster ibaratnya sebagai pintu masuk yang membuat penonton tergoda untuk menontonnya. Di Indonesia, poster sendiri sudah dibuat sejak tahun 1926 dan berlangsung hingga kini.
Sayangnya, seiring perkembangan teknologi para pelukis poster sudah mati. Karyanya yang jaya di era 1970an hanya tinggal nama. Kini, di tiap bioskop digantikan oleh poster di plasma TV.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
***

Namanya Tirtajaya. Di gang kecil dekat Stasiun Gondangdia, Jakarta Selatan, rumah berlantai dua tersebut tempatnya tinggal bersama keluarga.
Dulunya, selama hampir 15 tahun ia bersama belasan karyawannya tinggal di kawasan Petamburan, Jakarta Barat. "Di sana saya punya studio tempat melukis poster yang luas sekali," katanya kepada detikHOT Senin (18/11/2013) lalu.
Awalnya, studio yang bernama 'Pausta Studio' dijalani bersama atasannya. Saat itu, Tirta hanya membantu menggambar latar belakang poster di kain. Serta membuat huruf.
Lama kelamaan, ia mulai belajar melukis secara otodidak. "Saya lihat cara bos melukis, saya belajar pelan-pelan sampai akhirnya terusin usaha bos," katanya.
Studio tersebut digantinya dengan nama putra ketiganya 'Rizkylillah' yang berarti rizki dari Allah. Usaha yang dijalaninya sejak tahun 1970an ini mencukupi kebutuhan keluarganya.
Tak hanya itu saja, Tirta juga mengatakan saat itu ia sempat membeli mobil keluaran mercedes. Namun, dijualnya lagi saat bisnis surut.
Menjalani bisnis poster film diakuinya banyak pasang dan surut. Ketika sedang jaya-jayanya, Tirta sampai diwawancara oleh wartawan asing dari penjuru dunia.
"Amerika, Roma, Italia, Selandia Baru, Perancis, wah pada bilang kagum sama saya, kok bisa melukis di poster kain kayak gitu. Saya dishoot dan hasilnya dibawa ke negara mereka," katanya.
Selain itu, Tirta pun juga sudah banyak diwawancara oleh media massa Indonesia. "Tapi pas poster kain surut, tetap saja enggak ngebantu. Zaman sudah berubah."
Padahal, nama-nama dari para pelukis poster di era tersebut sama terkenalnya seperti sutradara. Tirta pun harus berlapang dada.
"Sepuluh tahun lalu saya sudah prediksi, ini bakal lari ke digital. Makanya saya suruh anak saya belajar digital printing," katanya.
Serta mewanti-wanti kepada karyawannya agar mulai mencari profesi baru lainnya. Alhasil, perkiraan dari Tirta benar sekali.
"Setelah saya stroke 2006 lalu, anak saya yang bantuin usaha ini. Saya tetap di bidang poster tapi percetakan digitalnya saja," kata Tirta.
(tia/utw)