Sanggar Anak Akar Alternatif Pendidikan Seni Dan Budaya

Pekan Kedua - Siasat Jakarta Biennale (4)

Sanggar Anak Akar Alternatif Pendidikan Seni Dan Budaya

- detikHot
Senin, 18 Nov 2013 14:43 WIB
dok. Astrid Septriana
Jakarta - Salah satu pendidikan seni rupa alternatif yang ada di Indonesia adalah Sanggar Anak Akar. Bagi salah satu pendiri Sanggar Anak Akar, Susilo Adinegoro, seni rupa adalah sebuah medium penyadaran.

"Ini siasat untuk membangun kesadaran kritis warga dan anak-anak. Jika seni rupa hanya dilihat dari segi estetis saja, itu hanya akan menjebak kesadaran kita," ujarnya kepada DetikHot, pekan lalu.

Sekolah yang menggunakan filosofi akar ini telah membangun komunitas dari kampung ke kampung lewat pendekatan seni serta kebudayaan. Mereka memiliki akademi perkusi, dongeng, dan akademi art & perform untuk mengintegrasikan bunyi, rupa, gerak dan kata.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya juga ingin mengajak orang-orang untuk memaknai seni di luar apa-apa yang lazim disebut seni. Saya senang jika seni di luar seni, direspons oleh banyak orang dan terjadi kolaborasi," ujarnya.

Dalam penggalangan dana, sanggar tersebut tidak bergantung pada donasi masyarakat saja, melainkan usaha mandiri. "Karena kemandirian memberikan kebebasan untuk melakukan hal-hal yang ingin kami lakukan," kata Susilo. 

Menurut Afra Suci Ramadhan dari organisasi Pamflet yang merupakan penyelenggara diskusi Jakarta Biennale 2013, Sanggar Anak Akar punya peran yang besar dalam memberi pendidikan pada anak jalanan.

"Karena anak-anak jalanan juga merupakan generasi muda. Di sana selain diberikan pendidikan soal seni rupa, anak-anak juga diberi pendidikan life skill," kata Afra.

Organisasi Pamflet sendiri menyambut baik visi dari Sanggar Anak Akar. Diskusi soal pendidikan dan gerak seni di kalangan anak muda relevan dengan apa yang diusung oleh pihaknya. "Kami melihat bagaimana aktivisme anak muda dan seni itu berkesinambungan. Karena aktivisme sendiri itu selalu butuh banyak ide segar dan bisa datang dari seni," ujarnya.

Dalam tiga kali diskusi yang diadakan, Pamflet melihat, pilihan senimanyang menjadi partisipan di Jakarta Biennale kali ini tidak apolitis. "Baik seniman dalam negeri maupun luar negeri yang dipilih oleh pihak Jakarta Biennale, sudah sangat politis dan melibatkan partisipasi publik," kata Afra.

(ass/fip)

Hide Ads