Kebanyakan penyuka tato yang dalam kepercayaannya melarang hal tersebut, jenis temporer paling sering dipilih. Karena mudah hilang dan bahan yang digunakan pun dianggap lebih ringan.
Ternyata, itu tak selalu benar. Pemilik studio Light of God in Tattoo (Login) Sean Anthony bilang, tato temporer justru lebih rentan terhadap alergi atau infeksi kulit yang parah. Makanya, dia hanya melayani jasa tato permanen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria 22 tahun ini melanjutkan, meski teknik yang dipakai hampir sama, tinta untuk tato temporer kebanyakan berbasis cat pewarna rambut yang mudah menimbulkan iritasi kulit.
"Sama juga tato tradisional misalnya, kita kan enggak tahu bahannya apa. Bisa jadi gatal-gatal, lecet, sampai luka abses. Kalau mau bikin tato, tapi temporer, saran saya mending jangan," ujarnya.
Pembuat tato asal Bandung, Kimik, 29 tahun, mengatakan hal yang sama. Tato permanen dan temporer memiliki jenis tinta berbeda. Tinta tato permanen memiliki zat khusus yang dapat menyatu pada pigmen kulit. Didapat secara impor dan tidak murah.
Sementara tinta tato temporer punya jenis yang lebih beragam. Namun, kekurangannya, tidak bisa diserap kulit dengan baik, juga mudah sekali menimbulkan alergi.
"(Tinta) enggak sama. Lain lagi ya dengan hena. Tato temporer memang lebih murah, lebih mudah, tapi akibatnya bisa jadi permanen. Bekasnya itu malah yang enggak bagus," kata Kimik.
***
Terjun dalam jasa pembuatan tato bukan tanpa risiko. Stigma buruk hingga ancaman penularan virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) jelas bikin ngeri.
Namun, bagi Sean Anthony, hal tersebut justru sebuah tantangan. Pemuda 22 tahun ini ingin membuktikan bahwa tato aman jika dibuat dengan proses yang benar.
Salah satu yang tak bisa ditolerir adalah kebersihan dan sterilisasi alat. Dia mewajibkan seluruh tattoo artist-nya menggunakan sarung tangan serta menerapkan prosedur baku.
"Jarum itu harus sekali pakai. Satu orang satu jarum, setelah itu langsung buang. Saya juga punya alat sterilisasi khusus seperti oven untuk menjaga kebersihan dan steril," kata Sean.
.
"Saya bukan kejar setoran atau cari keuntungan. Sebagai project of ego saya saja. Kenapa saya batasi, karena membuat tato, sekecil apapun itu capek," ujar Sean.
***
Tato seringkali dianggap sebagai simbol premanisme. Lekat dengan kehidupan bebas yang negatif dan dipandang sebelah mata.
Sean Anthony bahkan punya mimpi mengubah imej tato menjadi lebih baik. Di studio tato miliknya, Sean menerapkan syarat dan aturan ketat bagi mereka yang berminat membuat tato di sana. Misalnya, harus berusia di atas 18 tahun dan bebas narkoba.
"Jangankan narkoba, kalau ada orang yang datang ke studio dalam keadaan mabuk saja saya suruh pulang. Kalau mau ditato, mabuk saja dilarang, apalagi sedang dalam pengaruh narkoba. Saya enggak mau ambil risiko," kata Sean kepada detikHot, Selasa (29/10/2013).
Dia ingin membuktikan bahwa orang yang bertato atau menyenangi tato tidak berarti memiliki perilaku buruk. Meskipun, Sean tak memungkiri stigma tersebut sangat sulit dihilangkan.
"Iya memang stigma negatif masih ada sampai sekarang. Enggak bisa disalahkan juga karena preman yang ditangkap tatoan. Tapi, sebenarnya balik lagi ke masing-masing orang gimana menyikapinya. Kalau tato yang dibuat benar-benar dari hati, hasilnya pasti beda. Lihatnya sebagai seni," ujarnya.
Aturan yang diterapkan di studio Sean juga ditujukan untuk menjaga nama baik diri, lingkungan, maupun imej tato sendiri. Dia tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti penggerebekan narkoba atau tindakan kriminal lain.
"Saya buka studio tato bukan untuk kejar setoran atau cari keuntungan. Sebagai project of ego saya saja. Kenapa saya batasi, karena membuat tato, sekecil apapun itu capek. Saya enggak mau artist tattoo saya kecapekan karena nanti imbasnya ke kualitas yang jelek," ujar Sean.
(utw/utw)