Bagi Ita F. Nadia, yang telah malang melintang dalam penelitian dan pembahasan tentang isu perempuan, kondisi ini amat disayangkan. Karena seringkali acara peringatan peristiwa 1965 tidak pernah menyinggung bagaimana ketubuhan perempuan, dijadikan sebuah titik awal dari peristiwa '65.
Ita F. Nadia, yang pernah menjabat selama sepuluh tahun sebagai Direktur di Kalyanamitra ini menggambarkan telahannya selama ini dalam diskusi yang membahas Politik dan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan, dalam rangkaian Pekan Budaya & Konflik di GoetheHaus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang dimunculkan adalah berita soal kesaksian seorang perempuan, yang diminta untuk bersaksi bahwa ia telah melakukan pemotongan alat kelamin para Jenderal.
"Ini adalah titik balik dari semua proses politik gender Indonesia sampai saat ini," ujar Ita F. Nadia. Yang bersaksi adalah perempuan bernama Djamilah, yang dituliskan sebagai Gerwani. Padahal menurut penelitian Ita, ia adalah seorang pekerja seks yang diambil dari jalan, dianiaya dan diminta bersaksi.
***
"Peristiwa 1965 sering dianggap oleh para aktivis sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Advokasi-advokasinya ada pada cakupan HAM, saya tidak melihat ini salah. Tapi Peristiwa 1965 adalah perisitwa politik yag terjadi di Indonesia yang mengakibatkan sebuah perubahan biopolitik yang sangat besar di seluruh dunia."
Perubahan konstelasi dunia dimulai sejak ada peritiwa 1965 di Indonesia, yaitu dengan dihancurkannya gerakan-gerakan kiri progresif. Dengan peristiwa 1965 dimana terjadi pembantaian massal di banyak wilayah di Indonesia, secara sistematis ini ikut mempengaruhi gerakan-gerakan di Asia-Afrika, juga kehancuran Gerakan Non-Blok.
Peristiwa ini juga tidak bisa secara spasial atau terpotong-potong, menurut Ita, kejadian 1965 terkait juga dengan persoalan kelas, namun permasalah gender itu yang mengkaitkan semuanya. "Masalah gender itu cross-cutting di seluruh kelas.
Peristiwa pembunuhan massal ini membantai kelas buruh dan kelas petani, termasuk pada kekuatan berbasis massal seperti Gerwani," jelasnya.
Gerwani adalah organisasi massal yang ingin membangun perubahan terkait hak-hak perempuan. Lalu buruh, pada masa itu menuntut adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Ini semua merupakan basis politik-ekonomi melalui peristiwa '65. "Berkaitan erat dengan prasyarat masuknya pemodal kapitalis dan investor di Indonesia.
Dengan cara menghabisi kelas petani dan buruh, termasuk perempuan dan seniman." Ini merupakan langkah masuk pemodal dan kapitalisme di Indonesia. Dalam penjabarannya, Ita menjelaskan bahwa identitas bangsa Indonesia dibangun pada peristiwa 1965. Identitas kita dibangun melalui anti-komunisme, anti-gerakan progresif dan anti-gerakan kiri.
***

Untuk merangkum itu semua, Ita berharap kita bisa jeli dalam melihat bahwa tubuh perempuan dalam hal ini menjadi ajang pertentangan atau konflik antar kekuatan maskulin. Kembali dalam runutan peristiwa 30 September.
Rentang waktu 30 September hingga 11 Oktober, kantor berita diberedel. Baru setelah tiu Berita Yudha menerbitkan kisah para perempuan yang diceritakan sadis, bengis dan binal.
"Berita Yudha tidak memberitakan soal perisitiwa '65, mereka justru membahas soal kesaksian para perempuan yang digambarkan sadis dengan menyilet-nyilet kemaluan para jenderal."
Jadi dalam kekosongan itu, masyarakat yang tidak tahu-menahu soal apa yang terjadi sebelumnya, diberikan sajian berita tersebut. "Masyarakat diberi informasi tentang kekejaman para perempuan. Ini artinya militer memberikan satu kerangka imajinasi tentang moralitas perempuan komunis dan moralitas perempuan yang biadab dengan memberikan laporan seperti itu," ujarnya.
Sementara itu penyiksaan dan pelecehan seksual yang dialami oleh para perempuan anggota Gerwani tidak pernah menjadi pembahasan yang mainstream.
Ita F. Nadia sendiri telah menuliskan sebuah buku bertajuk Suara Perempuan Korban Tragedi '65. Ia melakukan wawancara dengan sekitar 25 korban tahanan, sejak 1993.
"Saya melakukan wawancara, bergabung dengan organisasi Tutur Perempuan dan melakukan perjalanan keliling Jawa, lalu saya menulis buku ini, yang berisi pengalaman mereka baik sebelum dan sesudah di penjara," kata Ita.
Buku tadi menyuguhkan pengalama kekerasan yang dialami para tahanan dari tragedi '65. Disini akan tampak bagaimana tubuh perempuan dijadikan ajang pertarungan politik, merumuskan kebangsaan bangsa ini. Seksualitas perempuan tidak lagi menjadi milik dirinya, "Tapi menjadi milik partai dan milik militer."
(utw/utw)