Tentu saja, ada kegetiran di balik lirik yang terkesan bergurau itu. Wiji pun melanjutkan: malam yang gelap ini untukku/ malam yang gelap ini selimutku/ selamat tidur tanah airku/ selamat tidur anak istriku/ saatnya akan tiba/ bagi merdeka/ untuk semua
Itulah salah satu puisi yang terhimpun dalam buklet kumpulan puisi berjudul 'Para Jendral Marah-marah' yang diterbitkan sebagai bonus Majalah Tempo edisi khusus memperingati 15 tahun reformasi, dengan judul sampul 'Teka-teki Wiji Thukul'. Kumpulan tersebut memuat 49 puisi, termasuk puisi-puisi Wiji dalam bahasa Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Judul buklet tersebut diambil dari salah satu puisi Wiji yang berjudul sama. Layaknya kebanyakan karya Wiji, puisi tersebut walau menyimpan kepedihan tetap ditulis dalam gaya yang santai, dibungkus dengan hal-hal rutinitas keseharian dalam kehidupan rumah tangga rakyat kecil. Berikut petikan puisi 'Para Jenderal Marah-marah':
Pagi itu kemarahannya disiarkan
oleh televisi. Tapi aku tidur. Istriku
yang menonton. Istriku kaget. Sebab
seorang letnan jenderal menyeret-nyeret
namaku. Dengan tergopoh-gopoh
selimutku ditarik-tarik. Dengan
mata masih lengket aku bertanya:
mengapa? Hanya beberapa patah kata
keluar dari mulutnya: "Namamu di
televisi...."
Puisi Wiji tak pernah bertele-tele dengan metafora. Bahkan, salah satu puisinya yang terhimpun dalam kumpulan ini terang-terangan mengungkapkan bahwa dirinya tak memerlukan metafora untuk mengatakan pikiran dan isi hatinya. Seperti tampak pada puisi berjudul 'Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan?'
Waktu aku jadi buronan politik
karena bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik
namaku diumumkan di koran-koran
rumahku digrebek --biniku diteror
dipanggil Koramil diinterogasi diintimidasi
(anakku --4 th-- melihatnya!)
masihkah kau membutuhkan perumpamaan
untuk mengatakan: AKU TIDAK MERDEKA
(mmu/mmu)