Kemunculan penyair penanda tangan Manifes Kebudayaan pada 1964 itu merupakan bagian dari pertunjukan Teater Puisi 'Kapal Penyeberangan Hukla'. Ini merupakan karya kolaborasi dari sejumlah seniman lintas dispilin. Penyair Afrizal Malna menyusun dramaturgi dari puisi-puisi Leon Agusta. Jefri Andi Usman mengerjakan koreografinya. Dan, musisi Iwang Noorsaid membingkainya dengan musik.
Di bawah penyutradaraan Aidil Usman, jadilah 'Kapal Penyeberangan Hukla' sebuah kejutan kecil bagi seni pertunjukan di Tanah Air yang dalam tahun-tahun belakangan ini didominasi maraknya musikal supermahal yang glamor nan hingar-bingar. Teater Puisi Leon Agusta sunyi, kelam, dan menyajikan kontemplasi yang mendalam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap 'adegan' adalah pemandangan yang menarik perhatian. Suatu saat, sebuah tangga yang tinggi didorong ke tengah panggung, seorang lelaki nangkring di atasnya. Sambil ngemil, dia berseru, "Daging manusia enak!" Lalu, meja-meja beroda didorong beramai-ramai juga, dengan koper-koper ditata di atasnya. Dan, kepala kerbau. Kali ini, ada juga sebongkah semangka yang terbelah dua.
Penyair Hanna Fransisca berdandan ala putri cina lengkap dengan payung cantiknya. Penampil lain adalah Teuku Rifnu Wikana dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo dari film 'Merah Putih'. Raper Iwa K muncul sekali dan berhasil mencuri perhatian dengan pembacaan puisinya yang mantap. Jose Rizal Manua, seperti biasa, memukau.
Membuat pertunjukan panggung dengan bahan dasar puisi, sama artinya dengan menafsirkan kembali puisi itu dalam perspektif tertentu. Dan, dalam hal ini, Afrizal Malna adalah orang yang paling bertanggung jawab atas ke mana 'arah' pertunjukan ini. Idiom-idiom yang diusung ke panggung seperti kepala kerbau dan semangka, jelas sangat Afrizal.
Afrizal memang tak hanya dikenal sebagai penyair, tapi juga pelaku teater. Dia adalah penulis naskah-naskah pementasan Teater SAE. Ia juga kerap melakukan kerja kolaborasi bersama seniman lain lintas disiplin, salah satunya 'Kesibukan Mengamati Batu-batu dari Balik Pintu' (1996). Lewat Teater Puisi Leon Agusta ini, Afrizal seperti kembali, dan dengan lepas menyalurkan aspirasi-aspirasi "sureal"-nya.
Puisi-puisi Leon Agusta sendiri tampaknya sangat cocok dengan estetika seni Afrizal selama ini. Hal itu tampak dari pemilihan yang dilakukannya atas puisi-puisi dalam kumpulan 'Gendang Pengembara' yang diusung ke panggung. Cita-rasa Afrizal terasa sangat kental, dengan kecenderungan "politis" yang memberi garis tebal pementasan tersebut. Bila itu dianggap kekurangan, maka kenyataannya, tema-tema cinta yang juga mewarnai puisi-puisi Leon, jadi tersingkirkan.
Namun, bisa jadi sebaliknya. Dalam situasi sosial-politik belakangan ini, yang selalu memerlukan suara-suara kritis, pilihan Afrizal sungguh tepat, dan pertunjukan ini menjadi penting. Lalu, apa sih makna Hukla? Anda hanya perlu merasakan sendiri sensasinya. Pertunjukan ini masih bisa disaksikan satu kali lagi pukul 20.00 WIB malam nanti. Huk huk huklaaa!
(mmu/mmu)