Pelajaran Melawak dari Pentas Reuni Ketoprak Humor

Pelajaran Melawak dari Pentas Reuni Ketoprak Humor

- detikHot
Selasa, 22 Mar 2011 11:07 WIB
Jakarta - Gelak tawa tak henti-henti terdengar di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Senin (21/3/2011) malam. Ketoprak Humor mengocok perut ratusan penggemarnya lewat sebuah pentas reuni yang guyup, nostalgis dan haru.

Tak pelak, karena sebagian besar pemain Ketroprak Humor berasal dari Srimulat, maka pementasan malam itu sekaligus seakan-akan juga menjadi ajang reuni grup lawak tradisional yang sudah lama vakum itu. Tarsan, Tessi, Nunung, Polo, Kirun, Doyok, Topan, sampai Kadir semua hadir.

Sekian lama mereka tidak tampil di panggung dengan mengenakan kostum ala Kerajaan Majapahit. Malam itu, mereka memainkan lakon 'Damarwulan-Minakjinggo'. Ini merupakan salah satu lakon ketroprak yang sangat popoler bagi masyarakat Jawa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lakon tersebut bercerita tentang seorang penjaga kuda, Damarwulan. Dia menjaga dan merawat kuda kerajaan. Karena dedikasinya yang menonjol, ada pangeran yang tidak suka kepadanya, yakni putra Patih Majapahit, Layang Seto dan Layang Kumitir. Saat itu Majapahit mendapat ancaman dari Kerajaan Blambangan yang dipimpin Minankjinggo.

Minakjinggo berniat menguasai Majapahit dengan menikahi Ratu Kencana Wungu. Sang Ratu pun tak tinggal diam. Dia meminta bantuan Damarwulan untuk melawan Minakjinggo. Namun, tugas negara yang mulia itu tak sampai kepada Damarwulan karena dihalangi oleh Layang Seto dan Layang Kumitor yang semakin iri kepadanya.

Pementasan yang berdurasi 4 jam lebih itu seakan menjadi proyek lawakan percontohan. Para pemain berkali-kali menyuarakan pesan, bahwa sebuah lawakan --baik di TV maupun di panggung-- harus memperhatikan estetika kesopanan. Tidak hanya itu, lawakan yang ditampilkan tidak mengandung unsur kekerasan dan menyenggol pikiran porno.

"Apa bedanya sepakbola dengan pengantin baru? Kalau sepakbola itu menggolkan dulu baru rangkulan. Nah, kalau pengantin?" begitu salah satu dialog pada bagian awal pentas, antara Marwoto dan Kirun.

Marwoto yang ditanya tidak menjawab agar tidak mengundang pikiran 'ngeres' di benak penonton. Ia langsung mengalihkan pembicaraan dengan lawakan lain. Begitulah Ketoprak Humor memberi contoh tentang 'estetika kesopanan' tadi.

"Lawakan kayak begitu, itu dulu. Sekarang, tidak boleh ada di atas panggung. Nanti ada anak-anak yang nonton, wah repot," kata Kirun dengan Bahasa Jawa.

Beberapa lawakan "kuno" khas Ketoprak Humor yang "sopan" lainnya pun ditampilkan. Misalnya, ketika memukul seseorang, tangan yang satu seolah-olah memukul, sementara tangan lainnya menepuk pinggung untuk memberikan efek suara pukulan.

Meski tak putus-putus mengocok penonton dengan gelak-tawa, namun tertangkap jelas kesan bahwa pementasan Ketroprak Humor malam itu ingin menyampaikan sebuah pesan. Bahwa, lawakan yang baik tidak hanya harus bisa membuat orang tertawa, tapi juga merenung.

(mmu/mmu)

Hide Ads