'Persiden' karya Wisran Hadi
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengadopsi gaya kelisanan masyarakat Minang yang suka meledek apa saja, dalam beberapa hal novel ini terasa menyegarkan. Namun, sering terasa bahwa teknik kelisanan yang digunakan oleh penulis membawa risiko tersendiri. Yakni, cerita menjadi melantur dan bertele-tele.
'Lampuki' karya Arafat Nur
Berlatar Aceh pada masa DOM, novel ini adalah satir cerdas tentang gebalau konflik TNI-GAM yang pada ujungnya menyengsarakan rakyat kecil. Dengan bahan cerita yang sangat emosional bagi rakyat Aceh, 'Lampuki' mampu menjaga penokohan tidak menjadi hitam-putih, kendati karakterisasi tokoh utama/narator terasa kurang pendalaman. Upaya menyiasati bentuk tampak pada alur dan penokohan yang tak linear.
Ditulis dengan rasa humor yang cukup baik, dengan kalimat-kalimat yang beres, kadang terasa bahwa penulisnya agak kurang gigih mempertahankan kekuatan diksi. Pembaca bisa menemukan di sana-sini istilah yang tidak memiliki kekuatan literer, misalnya "pemerintah terkait" atau "hidup makmur serba berkecukupan". Hal lain yang menjadi ganjalan utama, cerita berjalan sangat lambat.
'Jatisaba' karya Ramayda Akmal
Beragam karakter dimunculkan dalam cerita ini dan tertangani cukup baik. Hanya tokoh Sitas, perempuan kasar dan tukang bergunjing, kadang-kadang bersuara terlalu cerdas untuk karakter yang mendekati dungu. Menggarap masalah trafficking, yang dilakukan dengan kedok pengiriman TKI, novel ini dituturkan melalui sudut pandang si pelaku kejahatan, seorang perempuan yang sebelumnya juga menjadi korban kejahatan tersebut.
Perempuan itu kembali ke desanya yang melarat dan kacau oleh situasi politik pilkades, mengkhianati kenangannya sendiri, mengkhianati kawan-kawan lama, dengan siapa ia sesungguhnya selalu ingin bersama-sama.Β Ada kompleksitas masalah dalam masyarakat yang sederhana dan semua itu dituturkan secara enteng, seperti nyaris tanpa pemihakan atau emosi yang berlebihan. Kecenderungan yang tak tertahankan untuk menyelipkan bahasa lokal (terlalu sering dan terlalu banyak) sungguh mengganggu pembacaan.
'Memoar Alang-alang' karya Hendri Teja
Novel berlatar historis ini diilhami oleh kisah hidup tokoh faktual Tan Malaka (1896-1949). Penulis tampak berupaya melakukan riset untuk menghidupkan latar awal abad XX di Sumatra, Jawa, dan Belanda, serta atmosfer pergerakan nasional di tengah kungkungan kolonialisme. Sejumlah kejadian penting yang membangun watak, melandasi pilihan politik dan sikap hidup karakter utama berhasil dihidupkan dalam adegan-adegan yang menarik.
Bangun cerita yang disusun lumayan memikat. Kisah cinta segitiga yang disusupkan di antara jalinan utama cerita menghindarkan novel ini dari keterjerumusan menjadi sebuah risalah propaganda yang kering. Kelemahannya terletak pada penyusunan kalimat-kalimat yang sering rancu. Upaya terus-menerus untuk menggambarkan latar tempat dalam deskripsi yang statis membuat cerita berjalan lambat.
(mmu/mmu)