Salah satu novel yang baru-baru ini dibajak adalah novel Anak Sejuta Bintang karya Akmal Nasery Basral. Baru beberapa hari launching, novel yang diterbitkan Expose (Mizan Group) itu memang mendapat respons yang luar biasa dari para pecinta novel dan langsung menjadi best seller. Sehingga, para pembajak pun langsung memanfaatkannya demi meraih keuntungan.
Mendengar hal tersebut, pihak Penerbit Expose melalui timnya, langsung melakukan investigasi ke lapangan. Berdasarkan hasil investigasi, seperti yang dilaporkan Widuri Indahwati, PR&Marketing Communications Expose, ternyata telah ditemukan novel ASB bajakan dari salah satu toko buku di kawasan Senen, Jakarta Pusat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Widuri menambahkan novel bajakan tersebut – seperti apa yang dituturkan penjual novel bajakan – laku. Namun, persediaan novel ASB bajakan itu tampaknya masih minim. Ketika Detik.com menelusuri hampir seluruh toko buku di kawasan Senen, ternyata memang novel bajakan itu sudah tidak tersedia.
Menanggapi isu pembajakan tersebut, Deden Ridwan, Chief Executive Officer Expose mengatakan bahwa pembajakan itu mungkin belum masif dan hanya segelintir orang iseng yang sudah terkena isu strategi komunikasi yang dilakukan oleh penerbit.
“Kalau kita cermati dari hasil investigasi, yang cuma ditemukan satu judul di lapangan, pembajakan itu belum begitu masif. Mungkin si pembajak itu dengar-dengar ada buku laku, mereka coba-coba bajak. Spekulatif. Penerbit memandang “itu orang iseng saja”. Masih pembajak kelas teri,” jelasnya
Diakui Deden, penerbit juga belum mengalami kerugian secara material. “Ya belum ada kerugian material. Malah itu “bagus” sebagai bagian dari isu. Artinya, kalau dibajak berarti novelnya laku, Dan alhamdulillah novelnya memang laku, bahkan laris,” pungkasnya
Karena pembajakan itu masih dipandang belum masif atau murni, penerbit pun belum bisa melakukan upaya hukum. “Belum terlalu jauh. Lagi pula pembajak di negeri ini masih susah ditindak,” ucapnya
Memang, pembajak di Indonesia masih sulit diberantas. Meskipun IKAPI yang merupakan asosiasi dari para penerbit Indonesia sudah melakukan berbagai cara, seperti melakukan kerja sama dengan pihak penegak hukum dan juga melakukan sidak langsung ke lapangan dengan mengajak para penerbit buku yang sudah menjadi korban, tetap saja pembajak masih berkeliaran.
Padahal, pembajakan buku termasuk pelanggaran Undang-undang Hak Cipta No 19 tahun 2002. Namun, sepertinya undang-undang itu tidak pernah digubris oleh para pembajak. Tampaknya, undang-undang itu masih harus terus disosialisasikan ke masyarakat. Ini bukan hanya PR buat pemerintah dan IKAPI, tapi juga buat kita semua.
(adv/adv)