Sejak awal tokoh Rayya yang diperankan Titi dalam film 'Rayya Cahaya di Atas Cahaya' itu memang seperti orang yang tak waras. Dibilang nyentrik, ia terlalu susah dipahami. Seorang artis yang mengusir fotografernya, dan dari awal kemunculannya yang dilakukan memang hanya marah-marah saja. Bicaranya aneh, seperti sedang mendeklamasikan kutipan-kutipan dari buku filsafat eksistensialisme.
Ketika fotografer menyarankan agar ia berfoto di atas perahu di pantai, ia meradang, 'Apakah dengan perahu-perahu itu Rayya bisa menjadi semakin Rayya?' Akting Titi yang kerap terlalu meledak-ledak membuat kita seperti nonton pertunjukan monolog di Salihara, dan itu bikin capek. Baru, setelah Rayya bisa mengendalikan emosinya, film ini terasa lebih enak dinikmati. Itu terjadi ketika Rayya telah mendapat fotografer pengganti dari yang sebelumnya dia usir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari Jakarta menyusuri kota-kota di Jawa Tengah, Yogyakarta hingga Bali, inilah road movie yang eksotik, dengan gambar-gambar yang puitis. Abaikan soal warna yang kadang tak konsisten dan kurag cemerlang, film ini padat dengan dialog-dialog dewasa yang rumit, berat, penuh retorika khas ala Emha Ainun Nadjib sang penulis skenario. Emha selama ini dikenal sebagai kolumnis jempolan, penyair dengan puisi-puisi Islam dan penulis naskah lakon drama yang kental kritik sosial-politik.
Bagi yang familiar dengan teks-teks Emha, menonton film ini seperti menyaksikan rangkuman dari pemikiran Emha selama ini, yang dituangkan dalam bahasa gambar. Sutradara Viva Westi (pada 1994 main dalam film 'Surat untuk Bidadari karya Garin Nugroho, pada 2008 menyutradarai 'May') membuat 'Rayya' dengan indah, rapi, simbolik dan retorik. Rayya sebagai tokoh utama memang tak berdiri sendiri. Ia simpul untuk menarik benang merah kritik Emha atas kecenderungan kehidupan yang terlalu materialistis. Dan, kisah cintanya dengan Arya hanyalah bingkai bagi mozaik sketsa-sketsa keindonesiaan yang ditampilkan di sepanjang film ini.
Tidak ada yang baru, tapi kita masih bisa dibuat terharu, atau lebih tepatnya: inilah saatnya kita dibikin benar-benar menyadari relevansi pemikiran Emha selama ini. Sketsa tentang si mbok penjual karak yang menolak dibayar lebih oleh Rayya, filosofinya sudah kita baca dalam salah satu buku paling awal karya Emha, 'Indonesia Bagian dari Desa Saya'. Tapi, ketika itu hadir (lagi) dalam sebuah film, inilah pelajaran dari budayawan Emha kepada bangsa ini.
Sudah saatnya Emha melakukan peran itu, seperti telah dilakukan oleh Arswendo Atmowiloto dan Garin Nugroho. Mereka adalah para bapak pamomong bangsa ini, yang tekun memasukkan nilai-nilai keindonesiaan dalam karya-karya film mereka. 'Rayya', meminjam salah satu judul kumpulan puisi Emha, adalah sesobek buku harian Indonesia, yang dibingkai dengan kisah cinta, untuk disuguhkan bagi generasi masa kini.
Musik yang dikerjakan oleh Aksan dan Titi Sjuman walaupun minimalis tapi efektif memberi jiwa pada adegan-adegan penting. Kehadiran aktris senior Christine Hakim secara mengejutkan berhasil memberi daya humor yang segar bagi film ini. Tio Pakusadewo dengan kematangan aktingnya yang tenang mengimbangi Titi Sjuman yang kadang over-interpretatif. Sungai, pasar, perempatan jalan di sebuah kota, acara kawinan di kampung ditampilkan dalam film ini sebagai situs-situs penting dalam kehidupan, untuk membuat kita memikirkan kembali kefanaan kita.
(mmu/mmu)