Banyak yang menganggap Hanung Bramantyo begitu berani menyutradarai 'Bumi Manusia'. Anggapan itu makin terdengar minor karena itu adalah novel yang agung.
"Semua Novel di dunia tidak akan mudah di buat Film. Medium nya beda. Yang satu teks dan yang satu visual," kata Hanung kepada detikHOT.
 Hanung Bramantyo Foto: (Monica Arum) |
Tak mau sepotong-potong berbicara mengenai Bumi Manusia, Hanung pun sudah menyiapkan tulisan panjang mengenai novel, Iqbaal Ramadhan dan Dilan:
Memfilmkan Novel, apalagi dengan pembaca sebanyak Novel Bumi Manusia, adalah pekerjaan yang tidak mudah. Dari bentuk dasarnya saja sudah beda. Novel adalah medium teks, sementara Film adalah medium audio dan visual. Meski keduanya berkewajiban menyuguhkan impresi emosi yang dalam dan aktual, Penyikapan terhadap kedua medium tersebut berbeda. Ketika pembaca sedang membaca Novel, tidak ada tuntutan untuk harus selesai membacanya dalam waktu 2 jam. Sedangkan dalam Film, penonton harus menyelesaikannya dalam 2 jam. Jika perlu, selama 2 jam itu, mereka tak sempat menikmati pop corn yang mereka beli karena terbius dengan imaji dalam layar. Bahkan, jika penonton sempat menyentuh pop corn Atau bahkan sempat bermain Hp, atau ngobrol sendiri saat menonton, itu merupakan kegagalan buat filmmakernya.
Karena Novel dan Film adalah medium yang berbeda, maka sudah pasti akan mengalami penyesuaian. Kontroversi atas rasa tak puas pembaca kepada filmnya adalah resiko yang harus dihadapi bagi filmmaker yang hendak memfilmkan Novel. Tak hanya di Indonesia saja, terjadi juga di negara dengan industri Film semaju Amerika maupun Korea. Contoh Harry Potter, Da Vinci Code, Dokter Zhifago, dsb.
Persoalan menjadi semakin kompleks ketika Berhubungan dengan perputaran modal yang tinggi. Membuat Film membutuhkan biaya 10 bahkan 40 kal lipat dari modal membuat Novel. Sehingga konsekuensi pengembalian modal sangat berdampak pada sisi kreatif film. Salah satunya dalam pemilihan pemain.
Tokoh Minke, misalnya, dalam novel Bumi Manusia disuguhkan sangat kompleks yang menjadi lokomotif konflik kultural, RAS, hukum dan politik pada masa Kolonial. Minke, pemuda yang sedang ternganga dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern, adalah sosok yang harus berhadapan dengan situasi cinta yang pelik, yang dibangun atas relasi orang tua-anak yang lahir tanpa status pernikahan yang sah, akibat hukum kolonial yang tak memberikan perlindungan kepada pernikahan Belanda-Pribumi. Ditambah pengetahuan Minke atas pemikiran lintas kultural dari Multatuli, Snouk Hurgonye, Tolstoy, menambah kompleksitas karaternya, yang membuat sosoknya seolah-olah sulit dicarikan padanannya.
Saya, juga Falcon Pictures dan penulis Skenario Salman Aristo, juga para crew yang terlibat, sangat sadar sekali dengan kompleksitas karakter-karakter yang berkelindan juga situasi geo politik yang tertuang dalam Novel Bumi Manusia. Pemilihan Iqbal menjadi Minke bukan semata didasari atas keberhasilan Iqbal memainkan sosok Dilan. Jauh sebelum Dilan di rilis, saya sudah bertemu Iqbal.
Saya bertanya tentang Novel Bumi Manusia. Mengagetkan. Dia tak sekedar membaca, bahkan melakukan resensi atas bukunya dalam bahasa Inggris sebagai tugas sekolahnya di Canada. Kami lantas berbicara panjang lebar tentang novel itu lebih jauh. Tanpa sama sekali menawarkan kepadanya peran Minke. Saya tidak ingin gegabah menawarkan sesuatu yang berat dan agung itu kepadanya.
Setelah Dilan rilis, Salman Aristo justru yang mengulik saya. 'Kayaknya Iqbal oke tuh buat BM' celetuknya lewat Whats App. Saya mengenal Salman saat dia masih menjadi wartawan. Kami tak cuma partner, tapi juga sahabat. Tentunya saya yakin Salman tak begitu saja merekomendasikan aktor kepada saya. Akhirnya saya menonton Dilan. Saya melihat, sebagai boyband, dia sangat baik memainkan tokoh Dilan. Natural. Konsisten. Tak dilebih-lebihkan. Saya sangat mengapresiasi Fajar Bustomi sebagai sutradara Dilan yang bisa mengarahkan Iqbal menjadi Dilan dengan sangat meyakinkan.
Setelah itu kami bertemu untuk kedua kalinya. Dari pertemuan itu saya menemukan catatan penting dari dia. Selain sudah membaca buku Bumi Manusia bahkan meresensinya, Iqbal selama 2 tahun tinggal di negara orang. Sebagai Minoritas. Dari negara yang dianggap masih berkembang. Menggunakan bahasa yang bukan bahasa Ibunya. Saya membayangkan bagaimana dirinya harus berkompetisi dengan anak-anak muda seusianya dari berbagai macam dunia. Berkomunikasi. Beriteraksi dalam lingkungan global. Alih-alih dipuji, diremehkan dan dianggap tak mampu. Sepertinya itu sudah jadi hal biasa. Ditambah lagi, dia diremehkan oleh fans Novel Dilan saat dipilih memerankan sosok Dilan hanya karena dia mantan boyband. Saya bilang kepadanya bahwa KAMU TAK PERLU LAGI MEMBACA Bumi Manusia untuk memahami Minke. Kamulah Minke. Tugas saya justru memberikan Iqbal isi kepala Minke. Iqbal harus membaca karya Multatuli, Snough Hurgonye, Tolstoy, Marx, shakespeare. Bahkan Babad Tanah Jawi, Ronggowarsito. Buat saya Acting itu bukan apa yang diucapkan, tapi justru apa yang TIDAK DIUCAPKAN alias Inner Acting.
Saya percaya dia bisa melakukan itu jika diberikan kesempatan. Tampaknya saat ini kesempatan sulit sekali didapat hanya karena stigma. Tapi saya yakin, baik Iqbal, saya, Falcon Pictures, Salman Aristo dan seluruh crew tetap memilih untuk terus Adil sejak dalam pikiran dan perbuatan. Seperti pesan Pram di Bumi Manusia.