Lewat karya terbarunya 'Setan Jawa', sebuah film bisu hitam-putih, Garin Nugroho telah mencapai terobosan kolaboratif yang luar biasa dengan para maestro tari dan musik tradisi Jawa yang selama ini tidak mendapatkan tempat dalam industri budaya pop yang glamor dan ingar-bingar.
Dengan setting awal abad XX, film ini disajikan kepada penikmatnya dengan konsep nonton film pada masa awal tumbuhnya gambar bergerak tersebut. Yakni, dengan iringan musik yang dimainkan secara langsung di depan layar. Dalam hal ini, Garin memilih musik gamelan sebagai pengisi kebisuan filmnya. Rahayu Supanggah, kolaborator Garin di film 'Opera Jawa', kembali tampil dalam proyek yang disebutnya "rada gendheng" ini.
"Gimana nggak gendheng, bikin film bisu, hitam putih lagi, memang njelehi Mas Garin itu," kelakar Pak Rahayu dengan gaya Solonya yang khas sebelum pemutaran khusus 'Setan Jawa' untuk kalangan wartawan, Jumat (2/9) malam. Pertunjukan akan dibuka untuk publik pada Sabtu dan Minggu (3-4/9) ini di Teater Jakarta, TIM pukul 20.00. Untuk nanti malam, tiket sudah habis.
Sejak didengung-dengungkan bahwa salah satu karya Garin berikutnya adalah sebuah film bisu hitam putih dengan judul 'Setan Jawa', orang menunggu dengan rasa penasaran yang besar. Akan seperti apa? Bikin film "biasa" saja kadang susah dimengerti, ini bisu dan hitam putih pula! Namun, setelah menyaksikan filmnya, sungguh mengejutkan bahwa di saat membuat film tanpa suara dan tanpa warna, yang belum-belum sudah mengesankan sesuatu yang berat, Garin justru menampilkan karyanya dengan cair, "ringan" dan enak diikuti.
Dibagi dalam chapter-chapter layaknya buku, 'Setan Jawa' mengalir lancar, runut dan runtut serta mudah dipahami. Film dibuka dengan gambaran latar waktu ketika pemerintah kolonial masih berkuasa. Lalu, penonton diperkenalkan dengan tokoh-tokoh utamanya, yaitu Asih (Asmara Abigail) dan Setio (Heru Purwanto). Asih berasal dari keluarga ningrat, sedangkan Setio pemuda miskin yang tinggal di kampung para pembuat sapu lidi dan kepang bambu.
Asih tinggal di rumah gedong Jawa yang megah, sedangkan Setio tinggal di gubug reot yang berdiri di atas tanah yang gersang. Nasib mempertemukan mereka ketika Asih bersama ibunya (Dorothe Queen) dan dua punakawan (Danang Pamungkas, Cahyati Sugiarto) berjalan-jalan di keramaian. Konde Asih terjatuh dan ditemukan oleh Setio. Sempat terjadi adu tatap penuh makna antara keduanya, dan tersirat bahwa Asih jatuh hati pada pemuda itu.
Dengan bekal konde itu, Setio melamar Asih. Tapi lantaran ia hanyalah seorang pemuda miskin, lamarannya ditolak. Asih hanya bisa menangis. Lantaran patah hati dan dendam akibat perasaan terhina, Setio pergi ke Pasar Mistik untuk "membeli" pesugihan. Ia akhirnya memilih Pesugihan Kandang Bubrah. Setelah melakukan perjanjian dengan Setan Jawa (Luluk Ari Prastyo), Setio pun menjadi kaya, dan kembali melamar Asih. Mereka hidup di rumah gedong yang mewah.
Ketika Asih akhirnya mengetahui bahwa suaminya memiliki pesugihan kandang bubrah, yang ditandai dengan rumah yang selalu hancur sehingga pelaku harus memperbaikinya terus-menerus, ia pun berinisitif menemui Setan Jawa untuk membatalkan perjanjian pesugihan yang telah dibuat suaminya.
Garin menyebut 'Setan Jawa' sebagai film horor yang tidak mengeksploitasi ketakutan. Dunia setan yang diangkatnya lebih merupakan dunia mistik yang berkaitan dengan alam dan kenyataan. "Sebenarnya ini adalah cara lain untuk memahami realitas," ujar Garin. Usai pemutaran, Garin tanpak sumringah dan mengaku bahwa dirinya puas, karena di tengah maraknya tontonan, hiburan dan seni yang selalu berkaitan dengan politik, ia hanya ingin menyajikan sebuah cerita.
Dan, memang benar. Walaupun mengangkat dunia persetanan Jawa, wabilkhusus tentang mistik pesugihan, Garin sama sekali tidak menyelipkan pesan (moral) atau kotbah apapun. Filmnya mengalir sebagai rangkaian visual yang indah, yang mengantarkan sebuah alur cerita yang "murni", tanpa pretensi untuk dimaknai secara neko-neko.
Tentu saja, Garin tetaplah Garin. Karyanya selalu kaya dengan simbol dan intertekstualitas. Konde, misalnya, mengingatkan kita pada karya panggungnya yang berjudul 'Tusuk Konde', bagian dari trilogi 'Opera Jawa'. Namun, kali ini tidak ada yang terasa berat, atau pun membuat kening berkerut dan pipi mecucu. Bahkan, menyelipkan humor-humor ringan pun masih memungkinkan bagi Garin, di tengah penampakan-penampakan setan yang seram dan aneh-aneh.
Sejumlah adegan ditampilkan simbolik, seperti kehancuran rumah Setio yang digambarkan dengan serbuan kepiting yang menggerogoti dinding. Salah satu yang paling keren adalah penggambaran Pasar Mistik. Benar-benar bikin merinding! Rahayu Supanggah dan tim pengerawitnya berikut para sinden, yang terdiri dari dosen-dosen S2 dan S3 Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta sekaligus juga para komposer, membingkai gambar-gambar bisu Garin dengan komposisi yang kadang mengejutkan.
Pada adegan kemunculan setan-setan misalnya, Rahayu tidak dengan tipikal lantas mengisi musiknya dengan suara-suara yang menyeramkan, melainkan justru dengan musik trebangan yang rancak dan bertalu-talu. Pada adegan-adegan yang menggambarkan kehancuran hati Asih karena sang suami ternyata memiliki pesugihan, suara sinden terdengar melengking tinggi dan menyayat, sangat emosional. Rahayu juga memasukkan unsur tetembangan dan mantra-mantra Bali yang mempertebal suasana mistis.
Sebagian adegan disajikan dengan koreografi tari Jawa yang lembut. Kemunculan maestro tari Rusini yang berperan sebagai nenek Asih, juga Dorothea Queen sebagai ibu Asih, memberikan keagungan tersendiri bagi film ini. Film ini lagi-lagi menunjukkan konsistensi Garin dalam berkarya, yang selalu ingin memberi tempat dan mengedepankan dengan penuh rasa hormat, para maestro yang setia menghidupkan seni-seni tradisi di jalan sunyi, tanpa sorotan kamera dan popularitas.