Mengenang Didi Kempot dalam Bingkai Foto Hitam Putih

Hari ini, Indonesia berduka. Mulai dari selebritas, seniman, politikus, kepala negara, dan para penggemar sama-sama ambyar saat Didi Kempot tutup usia. Kabar kepergian Didi Kempot itu benar-benar mengagetkan semua kalangan. Didi Kempot tidak hanya dicintai para penggemar campursari yang mengikuti kariernya sejak tahun 1980-an. Anak-anak muda kini pun tak segan menyuarakan patah hati lewat lagu-lagu sang maestro.

Didi Kempot bagai lahir kembali di beberapa waktu terakhir dengan sapaan 'lord', 'The Godfather of the Broken Heart', hingga sebutan sobat ambyar bagi penggemarnya.

Didi Kempot tak hanya dikenang di kalangan seniman. Politikus hingga tokoh agama pun punya ingatan yang berbekas akan sosok pria kelahiran 31 Desember 1966 itu. Bahkan, kabar duka ini sampai ke Suriname, negara tempat Didi Kempot juga punya banyak fans.

Didi Kempot tak hanya mendendangkan liris nada dalam langgam campursarinya, tapi lebih dari itu, ia menyuarakan "rasa" (sesuatu yang lebih dari perasaan): tentang campursari sebagai musik dan ekspresi artistik, tentang (budaya) Jawa dan Indonesia, tentang peristiwa personal dan sosial, bahkan lebih jauh tentang pertarungan identitas, problem-problem komunal hingga toponimi, geografi, bahkan tata kota.

Tengok saja kisah hidupnya sebagai bekas musisi jalanan yang memperjuangkan nasib di jalanan ibu kota serta refleksinya atas cinta, kehilangan, dan harapan dalam lagu-lagu Layang Kangen, Ambyar, Banyu Langit, hingga representasi kondisi sosial masyarakatnya lewat Sewu Kutha, Stasiun Balapan, Tanjung Mas Ninggal Janji. Melalui campursari, lagu berbahasa Jawa yang dibawakannya, ia mengajak orang menerjemahkan ulang terminologi identitas budaya di dalam hingga luar negeri.

Dan, kehadirannya pula yang mengingatkan kita pada kontekstualitas permasalahan pandemi global lewat lagu terakhir dan juga konser amal yang diadakannya untuk memberi semangat dan pemahaman yang lebih bijak kepada para perantau yang tidak bisa kembali ke kampung halamannya.

Semuanya itu dirayakan oleh penggemarnya dengan buncahan emosi yang menggelora, ungkapan rasa yang tak berkesudahan, bagai sebuah ekstase yang berkepanjangan. Lagu-lagunya disuarakan dengan keras dan berulang, tak peduli tentang kesedihan maupun perpisahan. Ia bagai doa-doa yang terus digumamkan untuk mencapai pelepasan rasa yang begitu ekspresif: ambyar! Hal ini yang menahbiskannya sebagai Lord of Broken Heart.

Melalui campursari, Didi Kempot bernyanyi. Di tangannya, campursari tak semata urusan bunyi gamelan yang berpadu dengan unsur musikalitas lainnya. Campursari tak semata Jawa dan juga bukan representasi general sebuah identitas kultural tertentu dengan berbagai stereotipnya.

Lebih jauh dari itu, dipicu oleh suara, bunyi, atau musik yang tertangkap indera pendengaran lalu memicu koneksi dengan indera lain (tubuh) dan memori. Sebab tidak semua penikmat lagu Didi Kempot sebenarnya benar-benar kehilangan atau rindu pada sang kekasih; sebagian hanya "merasa kehilangan sesuatu" tanpa ada yang benar-benar hilang. Perasaan kehilangan ini yang kemudian menyatukan para penggemar Didi Kempot untuk berjoget dan bernyanyi bersama melaras kesedihan.

Didi Kempot sempat dilarikan ke RS Kasih Ibu, Solo, untuk upaya pertolongan. Namun pihak rumah sakit mengatakan, ketika sampai di rumah sakit, baru tiba di Unit Gawat Darurat (UGD), jantung Didi sudah tak lagi bekerja. Sang maestro telah mengakhiri pengabdian hidupnya di dunia seni dalam usia yang relatif muda, 53 tahun. Dia pergi diiringi suasana ambyar para penggemar setianya.

Hari ini, Indonesia berduka. Mulai dari selebritas, seniman, politikus, kepala negara, dan para penggemar sama-sama ambyar saat Didi Kempot tutup usia. Kabar kepergian Didi Kempot itu benar-benar mengagetkan semua kalangan. Didi Kempot tidak hanya dicintai para penggemar campursari yang mengikuti kariernya sejak tahun 1980-an. Anak-anak muda kini pun tak segan menyuarakan patah hati lewat lagu-lagu sang maestro.
Didi Kempot bagai lahir kembali di beberapa waktu terakhir dengan sapaan lord, The Godfather of the Broken Heart, hingga sebutan sobat ambyar bagi penggemarnya.
Didi Kempot tak hanya dikenang di kalangan seniman. Politikus hingga tokoh agama pun punya ingatan yang berbekas akan sosok pria kelahiran 31 Desember 1966 itu. Bahkan, kabar duka ini sampai ke Suriname, negara tempat Didi Kempot juga punya banyak fans.
Didi Kempot tak hanya mendendangkan liris nada dalam langgam campursarinya, tapi lebih dari itu, ia menyuarakan rasa (sesuatu yang lebih dari perasaan): tentang campursari sebagai musik dan ekspresi artistik, tentang (budaya) Jawa dan Indonesia, tentang peristiwa personal dan sosial, bahkan lebih jauh tentang pertarungan identitas, problem-problem komunal hingga toponimi, geografi, bahkan tata kota.
Tengok saja kisah hidupnya sebagai bekas musisi jalanan yang memperjuangkan nasib di jalanan ibu kota serta refleksinya atas cinta, kehilangan, dan harapan dalam lagu-lagu Layang Kangen, Ambyar, Banyu Langit, hingga representasi kondisi sosial masyarakatnya lewat Sewu Kutha, Stasiun Balapan, Tanjung Mas Ninggal Janji. Melalui campursari, lagu berbahasa Jawa yang dibawakannya, ia mengajak orang menerjemahkan ulang terminologi identitas budaya di dalam hingga luar negeri.
Dan, kehadirannya pula yang mengingatkan kita pada kontekstualitas permasalahan pandemi global lewat lagu terakhir dan juga konser amal yang diadakannya untuk memberi semangat dan pemahaman yang lebih bijak kepada para perantau yang tidak bisa kembali ke kampung halamannya.
Semuanya itu dirayakan oleh penggemarnya dengan buncahan emosi yang menggelora, ungkapan rasa yang tak berkesudahan, bagai sebuah ekstase yang berkepanjangan. Lagu-lagunya disuarakan dengan keras dan berulang, tak peduli tentang kesedihan maupun perpisahan. Ia bagai doa-doa yang terus digumamkan untuk mencapai pelepasan rasa yang begitu ekspresif: ambyar! Hal ini yang menahbiskannya sebagai Lord of Broken Heart.
Melalui campursari, Didi Kempot bernyanyi. Di tangannya, campursari tak semata urusan bunyi gamelan yang berpadu dengan unsur musikalitas lainnya. Campursari tak semata Jawa dan juga bukan representasi general sebuah identitas kultural tertentu dengan berbagai stereotipnya.
Lebih jauh dari itu, dipicu oleh suara, bunyi, atau musik yang tertangkap indera pendengaran lalu memicu koneksi dengan indera lain (tubuh) dan memori. Sebab tidak semua penikmat lagu Didi Kempot sebenarnya benar-benar kehilangan atau rindu pada sang kekasih; sebagian hanya merasa kehilangan sesuatu tanpa ada yang benar-benar hilang. Perasaan kehilangan ini yang kemudian menyatukan para penggemar Didi Kempot untuk berjoget dan bernyanyi bersama melaras kesedihan.
Didi Kempot sempat dilarikan ke RS Kasih Ibu, Solo, untuk upaya pertolongan. Namun pihak rumah sakit mengatakan, ketika sampai di rumah sakit, baru tiba di Unit Gawat Darurat (UGD), jantung Didi sudah tak lagi bekerja. Sang maestro telah mengakhiri pengabdian hidupnya di dunia seni dalam usia yang relatif muda, 53 tahun. Dia pergi diiringi suasana ambyar para penggemar setianya.